Rabu, 20 Juli 2011

SEJARAH KOTA LASEM

S E J A R A H  L A S E M


Dari tahun 1351 sampai permulaan abad ke 19 sumber utama dari bacaan sejarah ini adalah Sabda Badra Santi. Buku tersebut menekankan pada sil-silah raja-raja dan peperangan, tetapi tidak ada sedikitpun informasi mengenai lingkungan bangunannya. Karenanya sumber-sumber lain termasuk peta lama dibutuhkan agar mendapat bacaan sejarah yang lengkap dari periode ini.
Dari permulaan abad ke 19 sampai sekarang bacaan sejarah ini terutama didasarkan pada peta-peta. Karenanya wawancara dan temuan lapangan merupakan suatu bagian penting sebagai bahan banding.

 


A.  INTI DARI KOTA KECIL


A.1. Jaman Majapahit …. - 1469

Lasem terletak di daerah Rembang, kira-kira 110 km di sebelah timur Semarang, dipantai utara Jawa. Kota tersebut menghadap laut di sebelah utara dan membelakangi hutan jati di selatan. Di barat berdiri gunung Argopuro dan di timur sawah membentang luas (1). Selama abad ke-11, Lasem merupakan semenanjung luas disepanjang garis pantai. Pada waktu itu masih ada semenanjung Muria yang memisahkan semenanjung Jepara dan Jawa. Pada abad ke 14 semenanjung Lasem merupakan salah satu bagian dari kerajaan Majapahit di Jawa Timur (2). Kerajaan ini ada di Indonesia selama abad ke 13 sampai abad ke 15. Kerajaan tersebut runtuh setelah Islam menyerangnya. Tome Pirres, petualang Portugis menyatakan bahwa dari daerah Rembang sampai daerah Tuban sangat dikenal sebagai daerah kayu jati. Pendapat ini didukung oleh kenyataan bahwa di Rembang ada perusahaan kapal yang besar.
Pada tahun 1351, Lasem diperintah oleh Ratu Dewi Indu yang bertindak sebagai Adipati ( Perdana Menteri yang mempunyai kekuasaan di daerah tertentu ) di bawah kerajaan Majapahit. Suaminya, Rajasa Wardhana adalah seorang Dampu Awang, saudagar besar pada jaman dulu yang biasanya mempunyai hubungan dagang dengan seluruh daerah Asia Tenggara. Beliau menguasai pelabuhan Regol dan Keringan. Dewi Indu mempunyai daerah yang sangat luas, dari Pacitan di garis pantai selatan Jawa sampai muara Bengawan Solo dekat Surabaya, ibukota propinsi Jawa Timur sekarang ini. Istana-nya ada di Kriyan, yang terletak di dekat jalan raya Timur-Barat kota sekarang ini. Di tenggara ada taman indah Kampala-puri. Pada waktu itu Lasem sudah merupakan hunian teratur dengan pohon baya disetiap sudut jalannya. Rumah-rumah pejabat dibuat dari kayu jati, sisi depannya merupakan atap ” limasan ” ( limasan adalah tipe lereng atap Jawa ) dan sisi belakang merupakan joglo ( tipe atap Jawa lain yang akan dijelaskan dalam bab yang berikut ).
Dalam konsep keraton ( istana ) Jawa, alun-alun ( pelataran keraton ) sangat penting untuk berbagai perayaan kerajaan dan untuk persiapan perang. Dalam konteks dengan istana Dewi Indu, mungkin sekali di depan istana yang menghadap laut ada alun-alun. Sayangnya, semua sisa-sisa kuno itu sekarang telah lenyap.
Di daerah itu kita hanya menjumpai rumah-rumah dan kuburan kota yang mungkin merupakan Kampala-puri.
Dewi Indu meninggal pada tahun 1382. Beliau dimakamkan di gunung Argopuro, di timur kuil Ganapati. Sebuah kuil dibangun dimakamnya dan didirikan patung Budhis   ( tempat yang pasti dari kuil ini tidak diketahui ). Patung Batari Lokeswara ( salah satu dewi Hindu ) dibangun di bagian bawah dari tangganya. Suaminya, Rajasa Wardhana meninggal setahun kemudian dan dimakamkan di tempat yang sama. Penguasa Lasem diambil alih oleh anaknya, yaitu Badra Wardhana (3).
Sesudah memerintah Lasem selama 30 tahun, Badra Wardhana menyerahkan kekuasaan pada anak laki-lakinya, yaitu Wijaya Badra pada tahun 1413. Pada masanya ada Dampuawang asing yang melabuhkan kapal di pantai  Bonang, namanya Bi Nang Un, yang selanjutnya tempat dimana beliau berlabuh disebut Binangun. Bi Nang Un adalah anggota awak kapal Laksamana Chengho yang berpetualang dari Cina ke Asia Tenggara selama dinasti Ming. Beliau ( Bi Nang Un ) ingin menetap di Lasem untuk menyebarkan agama Islam diantara orang-orang pribumi.
Adipati Wijaya Badra sangat bergembira menerima dia beserta keluarganya dan memberinya daerah Kamandhung untuk huniannya (4).
                Ketika Bi Nang Un tiba di Lasem, sudah ada penghuni dari Cina dan Indochina   ( dinamai Champa ). Kedua etnik itu sangat berlainan. Agama etnik Tionghoa adalah Kong Hu Cu dan mereka adalah pedagang yang lihai. Dipihak lain,  agama  etnik  Champa  adalah  Budha  dan  mereka  sangat  menghormati  Sang Lokeswara ( seorang Dewi dalam kepercayaan Budhis ). Mereka mempunyai tarian yang indah dan ketrampilan dalam membatik serta gamelan ( musik tradisional ) (5). Karenanya mereka menyatu kependuduk setempat dengan mudah.
(1).  DALJOENI ; 1984 halaman 80
(2). Semenanjung Lasem atau yang biasanya disebut gunung Lasem mempunyai beberapa gunung yaitu Argopuro, Argosuko dan Bugel.
(3). SANTI  Badra ; 1966, halaman 10 - 12. Semua kuil dan makam ini tidak dapat dilacak lagi.  Argopuro hanya   merupakan gunung yang gundul.
(4).  SANTI Badra ; 1966, halaman 12.
(5). Batik adalah suatu jenis cetakan pada kain putih dengan memakai lilin untuk membuat gambar padanya. Itu merupakan pakaian Jawa tradisional.

Tarian, musik, dan terutama batiknya menyebar pada penduduk setempat. Selama berabad-abad kemudian Lasem sangat terkenal dengan seni batik. Orang Tionghoa mempunyai cara berpakaian yang sangat berlainan dengan orang Champa. Orang Tionghoa dan orang Champa hidup berdampingan dengan damai, bahkan berintegrasi satu dengan yang lain (6).

A.2. Jaman Islam 1469 – 1679


Tidak jelas kapan orang Tionghoa pertama-tama tinggal di Jawa. Menurut N.J.Krom sudah ada hunian orang Tionghoa selama jaman Mojopahit ( 1294 – 1527 ). Mereka datang ke Jawa sebagai pedagang dan sedikit demi sedikit membuat hunian. Dalam puncak kejayaan Kerajaan Majapahit pada abad ke 4, ningrat Jawa sudah memakai barang mewah dari Cina seperti pakaian dan porselen. Pegeud telah menyatakan bahwa orang Tionghoa di pantai utara Jawa telah berintegtrasi dengan orang Jawa dan menyebarkan Islam (7).
Wijaya Badra mempunyai putra bernama Badranala yang menikah dengan putri Bi Nang Un. Badranala mempunyai 2 putra yaitu Wirabraja dan Santi Badra.Sesudah Badranala meninggal, maka Wirabraja mengambil alih kekuasaan. Pada tahun 1469 beliau memindahkan istananya ke Bonang, dekat makam orang tuanya di Regol ( istana Wirabraja di Bonang sekarang tidak ada lagi dan tidak ada sisa-sisanya sama sekali ). Namun Santi Badra dan keluarganya masih tinggal di istana Krian. Pada waktu itu Islam sudah mendominasi pantai utara Jawa melebihi Budhisme dan Hindhuisme (8).
Wirabraja menjadi penguasa Lasem hanya selama 5 tahun dan kemudian meninggal. Wiranegera, putranya, menggantikannya juga selama 5 tahun dan meninggal. Istri Wiranegara yaitu Malokah mengambil alih kekuasaan pada tahun 1479, beliau memindahkan istananya kembali ke Lasem dan menempatkannya di samping istana Krian (9).
Malokah hanya mempunya 1 putri, dia menikah dengan Jinbun (nama lain Raden Patah ), yaitu Raja Demak. Karenanya, ketika Malokah meninggal, maka putra dari Santi Badra yaitu Santi Puspo mengambil alih kekuasaan .
Pada tahun 1490 - 1565, Sabda Badra Santi tidak menyebut apapun dan hanya menjelaskan bahwa penguasa kota beralih dari Santi Puspo ke Kusuma Badra, dari Kusuma Badra ke Santiwira dan dari Santiwira ke Tejokusumo I (10).
(6).    SANTI Badra          ; 1966, halaman 45
(7).    DAREY, Peter        ; 1986, halaman 15
(8).  SANTI Badra           ; 1966, halaman 12. Harus diperhatikan disini bahwa Santi Badra adalah  penulis buku  ” Sabda Badra Santi ”.
(9).    SANTI Badra          ; 1966 , halaman 12 - 13.
(10).  SANTI Badra          ; 1966 , halaman  l3 - l4 .

A.3. Komentar


Pada permulaan Lasem dikuasai oleh kerajaan Jawa Hindu yang tinggal di istana yang barangkali dikelilingi tembok. Sedangkan rakyat biasa dikampung sekitarnya. Mungkin sudah ada penghuni Tionghoa disepanjang utara sungai Lasem, dekat garis pantai. Kedatangan Bi  Nang Un ( 1413 ) menambah hunian baru di selatan. Hal itu berarti bahwa pada tahun 1351 ada dua wilayah di Lasem ; wilayah pemerintahan dari penguasa Jawa dan hunian Tionghoa sebagai wilayah ekonomi.

B. CIKAL BAKAL HUNIAN TIONGHOA


Tidak ada informasi yang menjelaskan dimana orang Tionghoa Lasem berasal di Cina. Tetapi, pendapat umum menyebutkan bahwa orang Tionghoa di Jawa dan seluruh Asia Tenggara berasal dari Fukien, Kwangtung, dan bagian dari Kwangsi, Hunan, Kiangsi.
Mereka datang ke Lasem dalam periode waktu yang berlainan. Mereka adalah pedagang yang membeli padi dari penduduk pribumi dan menjualnya di Cina. Dari Cina mereka membawa porselen serta pakaian dan  menjualnya ke penduduk pribumi. Secara bertahap di Lasem, orang Tionghoa menempati tanah untuk pertanian, dengan menggunakan penduduk pribumi sebagai pekerja, juga mereka membangun rumah permanen. Mereka menyebut tanah barunya ” Wo – Shen ” , yaitu ucapan mereka tentang Lasem (l2). Mungkin sekali di Soditan sudah ada hunian Tionghoa dengan kuilnya  ( Klenteng Dasun ).


B.1. Pembangunan Pusat Hunian


Tejokusumo I menjadi adipati Lasem pada tahun 1585,  beliau menempati istana baru di Soditan yang didepannya ada alun - alun. Kemudian alun-alun ini diubah menjadi pasar pada pertengahan abad ke 17. Sesudah hari Kemerdekaan Indonesia, pasar tersebut dikembalikan menjadi alun-alun lagi, dengan demikian alun-alun Lasem sekarang tidak lebih tua dari setengah abad (l3).

(10). SANTI Badra ; 1966 , halaman l3 - 14 .
(l2).  SANTI Badra ; 1966 , halaman l8 - 19 .
(l3). Tidak jelas apakah alun-alun ini terletak di alun-alun sekarang atau itu hanyalah    
         halaman depan  masjid.

Tiga tahun kemudian,  yaitu pada tahun 1588,  beliau membangun masjid di barat alun-alun dan sampai sekarang masih merupakan masjid Lasem. Menurut Sabda Badra Santi, bentuk atap dari masjid merupakan ” Tribatra ”dan mempunyai tiga undak. Dihalamannya telah ditanam pohon zapot kecil yang sangat keras. Dengan demikian salah satu elemen utama dari Lasem sekarang ditambahkan pada masa itu.
Tejokusumo I meninggal pada tahun 1632 dan dimakamkan dekat masjid. Ketika posisi Adipati Lasem kosong, Sultan Agung yaitu Sultan Mataram,  kerajaan Islam ketiga sesudah Pajang mengangkat Cik Go Ing menjadi Adipati dan menamainya Tumenggung Mertoguno. Dalam Sabda Badra Santi, selama masa tahun 1632 sampai tahun 1679  tidak disebutkan dengan jelas siapa yang mengambil alih penguasa Lasem sesudah Tejokusumo I, tetapi disebutkan adanya Tejokusumo II. Mungkin sekali Tejokusumo II sama dengan Tumenggung Mertoguno.
Menurut Peter Carey, Cik Go Ing adalah karyawan Adipati Lasem ( Tejokusumo I ) yang mempunyai nama Jawa yaitu Singa Wijaya. Beliau diangkat oleh Sultan Agung  menjadi Adipati sebagai kehormatan dari kesetiaannya pada kesultanan Mataram, terutama setelah perang antara kesultanan Mataram dan Adipati Surabaya di Jawa Timur ( 1620 – 1625 )  (l4).

B.2. Belanda Menyerang Lasem Pada Tahun 1679

Belanda datang ke Jawa dalam pelayaran pertamanya pada tahun 1595 untuk membeli rempah-rempah yang sangat mahal di Eropa. Agar mempunyai kekuatan yang lebih besar dalam persaingan dengan negara Eropa lain yang juga datang, maka pada pertengahan abad ke l7, mereka mendirikan  ” Vereniging Dost Indische Compagnie ”  ( VOC ). Pada pertengahan abad ke 17, VOC sudah menempati bagian dari kesultanan Mataram yang diperintah oleh Sunan Amangkurat II, yaitu cucu laki-laki Sultan Agung (14). Untuk mendapatkan monopoli dalam seluruh perdagangan dipantai utara Jawa, maka pada tahun 1679 mereka menyerang Lasem yang masih diluar pengaruh Belanda. Belanda didukung oleh Amangkurat II yang merupakan boneka pemerintah Belanda di Mataram. Terjadi peperangan berlarut-larut.  Situasi politik menjadi sangat rawan dengan perlawanan yang hebat terhadap  Belanda. Sampai dengan putra tertua Tejokusumo II yaitu Raden Mas Wingit, yang pada waktu itu merupakan penguasa Lasem, dibunuh ditengah-tengah peperangan, Kyai Ambyah mengambil alih istana sebagai Tumenggung Boneka Belanda. Tetapi beliau meninggal setahun kemudian setelah diracun oleh anak buahnya sendiri. Kemudian Sunan Amangkurat menobatkan Tejokusumo IV menjadi Adipati sampai beliau meninggal pada tahun 1714  (16) .
Pada tahun 1714, Tejokusumo V ditunjuk oleh Sunan Pakubuwono I menjadi Adipati Lasem (l7). Tetapi Tejokusumo V mengundurkan diri pada tahun l727, beliau tidak setuju dengan hubungan erat antara Sunan dan Belanda. Kemudian Sunan menunjuk Oei Ing Kiat menjadi Tumenggung Lasem yang diberi nama Tumenggung Widyadiningrat (l8). Selanjutnya Oei Ing Kiat menjadi pahlawan di perang Godo antara Tionghoa Lasem dan Belanda. Godo adalah suatu daerah 2 km disebelah barat Lasem (l9) .
(l4). CAREY , Peter                                  ; 1986, halaman 31.
(l5). RAFFLES, Thomas Stamford      ; 1988, halaman XXII.
(l6). SANTI Badra                                    ; 1966, halaman l8 – 22.
(l7). Sunan Paku Buwono I memerintah Mataram pada tahun 1703 – 1719 di Kartasura Jawa    
        Tengah.
(18). Tumenggung adalah suatu drajat dalam Mataram. Tumenggung merupakan derajat    
         yang diberikan pada kaum ningrat suatu negara dan mempunyai derajat yang sama  
         dengan penduduk Belanda,lihat sejarah Jawa  dari Raffles , halaman 79.
(19). SANTI Badra                                   ; 1966, halaman 25.

B.3. Komentar

Selama masa ini, hunian Tionghoa berkembang disepanjang sungai Lasem dan jalan raya timur – barat. Namun kerajaan Hindu memudar. Selain itu, bangkitlah penguasa Islam baru yang istananya menyatu dengan hunian Tionghoa.  Pada saat yang sama, dekat masjid, disebelah rumah–rumah orang Tionghoa ada kampung Kauman orang Jawa. Wilayah ekonomi berkembang menjadi lebih besar, sedangkan wilayah pemerintahan menjadi lebih kecil.

C. BANGKITNYA SEBUAH KOTA KECIL


C.1. Pembukaan Daerah Baru
Agar mendapat jalan yang lebih besar untuk masuknya kapal besar, maka pada tahun 1730 orang Tionghoa kaya di kampung Pereng, Lasem utara, memperlebar sungai Lasem dari Layur di utara, sampai Brangkal di selatan. Pada kedua sisi sungai dibangun beberapa tempat pendaratan untuk kapal-kapal besar. Pelebaran sungai Lasem membuat rawa-rawa Narukan menjadi dangkal dan selanjutnya pada tahun 1741 dijadikan sawah padi dan hunian. Bagian dari daerah baru ini sekarang dikenal sebagai Babagan ( Babagan berarti babak, dalam konteks ini berarti babak baru dari Lasem ) (20).
Pada tahun 1740 pemerintah Belanda di Batavia memutuskan untuk mengurangi jumlah penduduk Tionghoa di Jawa dengan mengusir pelaku kriminal dan oposisi Tionghoa. Keputusan ini menimbulkan pemberontakan Tionghoa terhadap VOC di Batavia, di mana banyak sekali penduduk Tionghoa yang dibantai oleh Belanda. Orang-orang yang dapat menghindar dari pembantaian tersebut melarikan diri ke timur dan beberapa diantara mereka tiba di Lasem dan tinggal  di selatan dan barat kota (21).
Tetapi pada tahun 1741, perang sipil Batavia yang telah mereda, mulai berkobar lagi di Lasem. Demikian banyak pengungsi Tionghoa melakukan pembalasan terhadap Belanda. Karena takut perlawanan orang Tionghoa, maka pada bulan Nopember 1743 pemerintah Belanda melokalisir orang Tionghoa yang tinggal di desa ke Lasem dengan membuka hunian baru di Babagan. Hal itu membuat penduduk Lasem berlipat ganda dan menjadi sebuah kota kecil. Pada tahun 1745, pangkat Tumenggung Widyadiningrat diturunkan menjadi Mayor Titular, beliau dianggap gagal mengontrol orang Tionghoa Lasem (22). Secara otomatis, nama Widyadiningrat harus dikembalikan ke nama Tionghoa aslinya yaitu Oei Ing Kiat. Untuk mengganti posisi adipati, maka Van Imhoff yaitu Gubernur Batavia mengangkat Suroadimenggolo III dari Semarang menjadi Bupati Lasem.

(20). SANTI Badra                         ; 1966, halaman 26 - 27.
(21). Mengenai perang sipil ini, ada 2 pendapat yang berbeda tentang tahun terjadinya       
       . Raffles menyatakan perang itu terjadi pada tahun 1742. Tetapi, Sabda Badra Santi   
         menyatakan hal itu  terjadi pada tahun 1740.
(22). Karena penduduk Tionghoa di Batavia bertambah banyak, maka Belanda mengangkat     
         Seorang Tionghoa menjadi pimpinan masyarakat Tionghoa sebagai Kapten. Diikuti     
         oleh pangkat-pangkat Lain  seperti Letnan dan Mayor.  Sistem  ini  sedikit  demi  sedikit    
         menyebar  keseluruh Jawa, termasuk Lasem.
Untuk mengurangi resiko perlawanan orang Tionghoa, maka VOC membangun benteng militernya di Toelis. (23). Ini merupakan usaha pertama untuk membuka daerah Toelis
Sampai tahun 1750, perlawanan bawah tanah orang Tionghoa terhadap Belanda sangat kuat. Karena takut dibunuh, maka bupati boneka Suroadimenggolo III memindahkan kabupatennya ke Rembang dan diikuti oleh pemindahan benteng militer VOC. Setahun kemudian yaitu pada Januari 1751, Suroadimenggolo III dipindahkan kembali ke Semarang. Kemudian Citrosomo diangkat menjadi bupati dan beliau menempatkan kantornya di Binangun. Pada tahun yang sama ketika Oei Ing Kiat meninggal, Belanda melantik keponakannya menjadi Kapten Titular dari Lasem sebagai kepala masyarakat Tionghoa (24). Sesudah kabupaten dipindahkan ke Rembang, maka Lasem menjadi kota kecamatan sampai  sekarang.  Agar mempunyai monumen untuk Oei Ing Kiat dan Tan Ke Wie ( pahlawan lain yang juga meninggal dalam perlawanan terhadap Belanda ), maka orang Tionghoa Lasem membangun klenteng kecil di Babagan yang dinamai Tan Oei Jie Sian Sing. Kemudian klenteng ini diperluas pada tahun 1915 (25).
Pada tahun 1799, Vereniging Oost Indische Compagnie yang sudah menduduki Jawa sejak pertengahan abad 17 dibubarkan karena bangkrut. Menurut Liem Thian Joe, wartawan dari Semarang, hal itu tidak berakibat apa-apa pada masyarakat Tionghoa (26).
Pada tahun 1806 pejabat militer Belanda yaitu J.T. Busscher membuat beberapa peta pantai utara Jawa. Dua diantaranya adalah garis pantai dari Bonang sampai Rembang. Dari peta tersebut kita dapat melihat bahwa huniannya ada di timur sungai Lasem. Hal itu sesuai dengan sejarah dari Badra Santi. Kotanya tumbuh dari Timur ke barat. Peta tersebut juga menunjukkan bahwa di Rembang sudah ada benteng militer. Hal itu sesuai dengan uraian dalam Sabda Badra Santi yang menegaskan bahwa sesudah tahun 1750 benteng militer Belanda dipindahkan ke Rembang (27).

(23). SANTI Badra                 ; 1966, halaman 27 - 32.
(24). SANTI Badra                 ; 1966, halaman 33 - 39.
(25). Lihat contoh 63, bagian 2, bab 4.
(26). LIEM Thian Joe            ; 1933, halaman 62.
(27). Mengacu pada peta : Kaart Van de Rhede Lassem en Bonang volgens de meting dan De Rhede Bonang en Lassem tot Rembang oleh J.T.Busscher, 1806, Rijks Archief, Denhaag.

 

C.2. Penghancuran Kuil Budhis dan Hindu


Bangkrutnya VOC pada tahun 1799, diikuti dengan pendudukan Napoleon atas negeri Belanda, membuat semua daerah Belanda di Oost – Indie diambil alih oleh pemerintah Perancis. Pada tahun 1808 Herman Williem Daendels menjadi Gubernur yang selanjutnya di Batavia dan beliau harus mempertahankan Jawa dari serangan angkatan laut Inggris (28).
Untuk memperkuat pertahanan militer Jawa, Daendels membangun jalan bersejarah dari Anyer di Jawa Barat sampai Panarukan di Jawa Timur. Jalan yang terkenal ini dinamakan ” Grote Post-Weg ” ( jalan pos yang agung ) dan ini melalui sebagian besar kota di utara Jawa Timur termasuk Lasem. Meski mengorbankan sekurang-kurangnya 10 ribu orang selama pembuatannya, ” Grote Post-Weg ” ini sangat berarti untuk komunikasi militer antar satu kota ke kota lain (29).
Di Lasem ” Grote Post-Weg ” ini bukanlah jalan baru. Daendels hanya memperlebar jalan raya timur-barat yang sudah ada dan mengambil banyak tambak ikan milik rakyat. Banyak orang desa dipaksa bekerja untuk jalan ini, karenanya menyebabkan pelarian besar-besaran dari orang desa kepedalaman yaitu daerah Mataram (30).
Semua kuil Hindu dan Budhis dihancurkan dan batunya dipakai untuk menguruk jalan. Mungkin hal itu merupakan alasan mengapa sekarang kita tidak dapat menjumpai satupun kuil Hindu dan Budhis di sana (31).

             (28). LIEM Thian Joe                           ; 1933, halaman 63.
             (29). Jumlah rakyat yang meninggal untuk pembuatan ” Grote Post-Weg ” ini dikutip dari   
                      RAFFLES                                         ; 1988, halaman 63.
             (30). RAFFLES, Thomas Stamford ; 1988, halaman 65.
             (31). SANTI Badra                                ; 1966, halaman 42.


C.3. Penduduk Lasem Pada Tahun 1815


Sesudah menguasai Jawa selama 3 tahun, Daendels dipanggil kembali ke Eropa oleh Napoleon. Jendral Jansen menggantikan tempatnya di Batavia dengan pelantikan pada tanggal 29 Januari 1811. Hanya 2 bulan setelah Jansen menjabat dikantornya sebagai Gubernur Jendral di Batavia, maka pada pada tanggal 27 Agustus angkatan laut Inggris mengalahkan Perancis di Mister Cornelis ( Jatinegara ), Batavia. Tentara Jansen mundur ke Semarang. Tetapi pada 10 September, Jawa jatuh di bawah kontrol Inggris sesudah penyerahan Jansen di Ungaran, selatan Semarang dan Raffles menjadi Gubernur di Batavia (32).
Selama jaman Raffles tidak ada perubahan yang berarti di Lasem. Tetapi minat ilmu dari Raffles telah mencatat beberapa data statistik dari penduduk Jawa dalam bukunya ” Sejarah Jawa ”  Pada tahun 1815 ada 1977 orang Tionghoa di Lasem ( kota dan desa-desa sekitarnya ) dari 50.972 orang penduduk atau 3,4 %. Jumlah penduduk Jawa yang banyak, yaitu 48.993 atau 96,1 % tinggal di pinggiran atau desa-desa kecamatan Lasem. Dibandingkan dengan kota-kota lain, Lasem mempunyai penduduk Tionghoa paling banyak pada waktu itu. Bahkan di Semarang pada tahun 1812-1813 hanya ada 774 orang Tionghoa dari 154.660 penduduk   atau 0.5 %. Jika dibandingkan seluruh daerah Rembang ( Rembang dan Lasem ) dengan daerah Semarang ( Semarang, Demak, Kendal, Kaliwungu ), orang Tionghoa Rembang ada 2.895 atau 2,6 % dari seluruh penduduk. Sedangkan orang Eropa di Rembang ada 179 orang dan di Semarang ada 96 orang.
Angka ini menunjukkan bahwa daerah Rembang, terutama Lasem merupakan kota yang sangat penting untuk pertahanan militer Belanda di Jawa. Melihat bertambahnya jumlah orang Tionghoa di daerah ini, maka dapat menimbulkan pemberontakan seperti apa yang terjadi sebelumnya.
Sesudah jatuhnya Napoleon pada tahun 1814 dan sebagai akibat perjanjian Belanda-Inggris, maka pemerintah Inggris di Jawa diakhiri pada tahun 1816. Jawa dan pulau-pulau lain dari Oost-Indie dikembalikan ke pemerintah Belanda dan namanya diubah dari ” Oost-Indie ”menjadi ” Naderlandsch-Indie ” (33).

(32). Liem Thiam Joe ; 1933, halaman 63 - 68
(33). Liem Thiam Joe ; 1933, halaman 86.

C.4. Komentar


Pada tahun 1740, hunian Tionghoa diperluas keselatan. Kampung Kauman orang Jawa menjadi suatu daerah yang dikelilingi oleh rumah-rumah orang Tionghoa. Wilayah pemerintah menjadi lebih kecil. Tiga tahun kemudian (1743), hunian orang Tionghoa baru didirikan di barat sungai Lasem ( di Babagan dan Gedong Mulyo ). Dipihak lain, Belanda membangun perbentengannya di timur ( Toelis ) disebelah istana Bupati Suroadimenggolo. Hunian orang Tionghoa sebagai wilayah ekonomi dipisahkan dari wilayah pemerintah.

D. KEPADATAN HUNIAN ORANG TIONGHOA LASEM


D.1. ” Passenstelsel ” dan Perdagangan Candu di Lasem

Untuk memecah gerakan orang Tionghoa, maka pada tanggal 9 Januari 1921, pemerintah Naderlandsch-Indie menerapkan ” Passenstelsel ” ( batasan perjanjian ). Sebenarnya aturan baru ini diterapkan pada setiap kelompok etnik, termasuk orang Eropa, tetapi dalam kenyataannya kontrol yang ketat hanya diterapkan pada kelompok orang Tionghoa. Dengan Passenstelsel setiap orang diharuskan memohon ijin dan pernyataan yang rinci tentang maksud, tujuan, rute, dan peserta sebelum melekukan perjalanan. Pada tahun 1848 dibentuk pengadilan khusus untuk menghukum pelanggarnya, tanpa diikuti prosedur pengadilan yang diperlukan. Akta ini dihapuskan pada tahun 1906 (34).
Pendudukan militer Inggris di Jawa mengakibatkan hilangnya blokade angkatan laut Inggris di kepulauan Oost-Indie dan penghapusan ” toll ” serta pajak pasar mendorong penjualan candu dan membuatnya menyebar di seluruh Jawa Tengah. Selanjutnya impor candu dari Benggala menjadi resmi. Tidak ada jumlah pasti dari rakyat yang menjadi ketagihan candu, tetapi J.A.B. Wisellius, karyawan sipil dari Naderlandsch-Indie menyatakan bahwa sekurang-kurangnya 16 % orang Jawa terjebak dalam narkotika (35).
Meskipun perdagangan candu ini membuat penderitaan untuk orang pribumi yang tinggal di pedalaman, tetapi pada saat yang sama hal itu memberi kesejahteraan diantara orang Tionghoa kaya yang menjual dan memperoleh keuntungan darinya. Di Lasem, sebagian besar rumah di Pereng dan Galangan ( Lasem utara ) menjadi gudang candu. Tentunya situasi ini menimbulkan kesenjangan yang lebih besar antara orang Tionghoa kaya dan orang Jawa miskin, sedangkan Belanda menerima pajak dari perdagangan candu ini sebagai keuntungan mereka.

(34). LIEM Thian Joe ; 1933, halaman 87 - 89.
(35). CAREY,  Peter ; 1986, halaman 66 - 69.

D.2. Huru-hara Anti Tionghoa Yang Pertama di Jawa

Didasarkan atas keadaan bahwa orang Jawa menjadi makin miskin, sedangkan orang Tionghoa menjadi demikian kaya sebagai pedagang candu, maka terjadilah huru-hara anti Tionghoa yang pertama pada masa tahun-tahun pertama perang Diponegoro ( Diponegoro adalah putra mahkota Mataram, Kerajaan Yogyakarta yang tanahnya diambil oleh Belanda, sehingga pada tahun 1825 beliau memulai pemberontakan ). Pada tanggal 23 September 1825, Raden Ayu Yudakusuma, putri tertua Kesultanan Hamengkubuwono dari Yogyakarta (36) memimpin serangan ke daerah Tionghoa di Ngawi ( 100 km di sebelah tenggara Lasem ). Jendela dan pintu kayu jati yang kuat dari rumah-rumah orang Tionghoa yang dapat menahan perampokan, tak dapat menahan pedang tajam dari tentara Raden Ayu Yudakusuma. Kemudian pembantaian mulai meluas di kota yang terletak di tepi sungai Bengawan Solo itu. Pembantaian ini mengakibatkan kosongnya banyak kota di pedalaman dekat Ngawi. Orang-orang Tionghoa melarikan diri ke pantai utara di mana ada hunian Tionghoa yang luas di bawah pemerintah Belanda (37). Mungkin sekali mereka melarikan diri ke Lasem dan tinggal di bagian dari daerah Tionghoa dan bagian dari desa-desa sekitarnya.

(36). Sejak tahun 1755 kerajaan Mataram dibagi menjadi dua : kerajaan Mataram Surakarta dengan Raja Sunan Pakobuwono dan Mataram Yogyakarta dengan Raja Sri Sultan Hamengkubuwono. Tentang nama Sunan dan Sultan disini hanya  merupakan  gelar dari kedua raja Mataram. Kita juga menjumpai nama Sunan untuk imam Islam,  misalnya Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga tentunya  bukan raja.
(37). CAREY, Peter ; 1986 , halaman 7 - 8.

D.3. Pembukaan Gedong-Mulyo Sebagai Hunian Baru dan Perbaikan Klenteng Dasun

Pemberontakan Diponegoro dapat dipadamkan sesudah 5 tahun, putra mahkotanya menyerah pada kelicikan Belanda di Magelang pada tahun 1830. Situasi politik di Jawa menjadi normal kembali (38).
Pada tahun 1838 dilakukan perbaikan  pertama dari klenteng Tionghoa di Dasun, Lasem utara. Prasasti yang ditulis pada dinding klenteng menyebutkan bahwa klenteng mempunyai riwayat yang panjang, telah ada sejak lama dan dindingnya sudah hancur. Orang Tionghoa Lasem setuju memberi iuran uang untuk memperbaiki klenteng. Kapten Ling Chang Ling, pimpinan Tionghoa Lasem memimpin perbaikannya. Perbaikan kedua dilakukan pada tahun 1900 dan Kapten Ling Shien Lie ( barangkali putra dari Ling Chang Ling ) yang melaksanakan perbaikan tersebut.
Pada tahun 1841 Belanda menerapkan suatu aturan baru yaitu ” Wijkenstelsel ” ( batasan hunian ) agar mempermudah pengontrolan gerak-gerik orang Tionghoa (39). Orang Tionghoa diharuskan tinggal di daerah tertentu. Dengan demikian banyak dari mereka yang di desa-desa sekitar Lasem sebagai akibat pembantaian Ngawi harus pindah ke tempat baru di tepi barat sungai Lasem dan di utara ” Grote Post-Weg ” Mereka menyebut tempat itu ” Gedong-Mulyo ” ( daerah yang sejahtera ).
Tiba-tiba, pada tahun 1850 di Cina ada revolusi melawan bangsa Manchuria yang sedang berkuasa. Revolusi ini gagal dan membuat bangsa Manchuria marah dan mulai membalas dendam pada orang Tionghoa. Ketidak stabilan politik ini mendorong demikian banyak Tionghoa lari keluar dari Cina dan beberapa diantaranya tiba di Lasem dan membuat kepadatan penduduk yang lebih cepat dalam kota kecamatan ini (40). Pada saat ini morfologi dari daerah Tionghoa Lasem sudah lengkap. Wijkenstelsel dihapuskan pada tahun 1915.

(38). LIEM Thiam Joe ; 1933, halaman 96.
(39). LIEM Thiam Joe ; 1933, halaman 88 - 90.
(40). LIEM Thiam Joe ; 1933, halaman 116.

D.4. Komentar

Pengungsi Tionghoa dari Ngawi (1825), penerapan Wijkenstelsel untuk orang Tionghoa (1841) dan penghuni baru yang datang dari Cina memperpadat hunian Tionghoa di Lasem. Pindahnya istana bupati dan markas militer Belanda ke Rembang dan adanya pabrik gula membuat wilayah ekonomi Lasem bangkit, sedangkan wilayah pemerintah didorong keluar dari kota tersebut.


E. BANGKITNYA KOTA KECIL YANG MODERN

E.1. Mulainya Modernisasi

Antara tahun 1850 sampai 1877 tidak ada banyak perubahan di Lasem. Tetapi pada masa itu modernisasi di Jawa telah mulai. Karena Lasem merupakan kota kecil dan hanya kota kecamatan yang modernisasinya tertinggal, maka catatan modernisasi seluruh pulau Jawa sangat penting sebagai latar belakang untuk menjelaskan modernisasi Lasemnya sendiri.
Pada pertengahan tahun 1855 untuk pertama kali Nederlandsch-Indie memasang telegraf elektromagnetik antara Batavia-Buitenzorg (Bogor). Proyek itu diselesaikan 1 tahun kemudian, sehingga pada tanggal 23 Oktober 1856 dikirimkanlah telegram yang pertama. Pada tahun 1857 pemerintah memasang telegraf antara Jakarta sampai Surabaya melalui Yogyakarta. Namun hubungan disepanjang pantai utara dari Jakarta dihentikan di Cirebon (41).
Pada tahun 1858 ada peta daerah Rembang yang digambar oleh M.K.DERSTEG. Meskipun peta ini tidak terlalu jelas, tetapi dapat menjelaskan beberapa titik penting. Pabrik gula di Toelis ( Lasem timur ) sudah ada. Belanda juga membuat fasilitas untuk membuat kapal kayu di Dasun ( Lasem utara ) (42).
Pada tahun 1862 untuk pertama kali ada 3 kantor pos di Jawa, yaitu di Batavia, Surabaya, dan Semarang. Beberapa bulan kemudian Belanda membangun 200 cabang lagi disepanjang ”  post-weg ” nya (43). Di Lasem, kantor pos dibangun di Gedong-Mulyo, ditempat yang sama dengan kantor pos sekarang.
Dari peta tahun 1868-1875 kita dapat menjumpai bahwa ada markas militer di Ngemplak ( Lasem timur). Sedangkan kantor kecamatan ada di Sambong ( Lasem Barat-Daya ). Dari peta ini kita dapat melihat rumah orang-orang kaya dan kampungnya, tetapi tidak jelas perbedaan antara kampung Tionghoa dan kampung Jawa.
            Nederlandsch-Indie mulai menerima orang Tionghoa dan Jawa bergabung di sekolahnya pada tahun 1864, kiranya hanya beberapa pelajar Asia yang diterima dalam sekolah-sekolah ini. Pada tahun 1871 pemerintah mengadakan ” Sekolah Pribumi ” ( sekolah khusus untuk orang Pribumi ), tetapi Belanda mengabaikan orang Tionghoanya, bahkan sampai tahun 1896 pemerintah mengatakan bahwa mereka tidak punya kewajiban pada pendidikan anak-anak Tionghoa. Orang Tionghoa dapat bergabung dengan sekolah Belanda atau ” Inlander School ” ( Sekolah Pribumi ) jika masih ada tempat (44).
            Juga pada tahun 1864 untuk pertama kali ada kereta api uap di Jawa, yaitu di Semarang. Pada bulan Februari 1870 jalan kereta api diperpanjang ke Surakarta dan pada tahun 1872 diperpanjang ke Yogyakarta (45). Pada tahun 1871 jalan kereta api meluas sampai ke Jakarta, Semarang, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya, tetapi tidak mencapai Kudus, Rembang, dan Lasem (46).

(41).   LIEM Thian Joe ; 1933, halaman 126.
(42). Mengacu pada Kaart Van de Westerhelft der residentie Rembang oleh M.K.DERSTEG ; 1858, Koninklijk Innstituut voor de Tropen, Amsterdam.
(43).   LIEM Thian Joe ; 1933, halaman 131 - 132.
(44).   SURYADINATA, Leo ; 1988, halaman 6.
(45).   LIEM Thian Joe ; 1933, halaman 133 - 134.
(46).   LIEM Thian Joe ; 1933, halaman 152. Juga mengacu pada Spoorweg Kaart van Java oleh S.S. Mulder and Co, 1874, Rijks Universiteit, Leiden.

E.2. Perluasan Gedong-Mulyo dan Pemasangan Jalan Kereta Api

Beberapa isu baru muncul dari tahun 1877 sampai tahun 1881, yaitu kampung Tionghoa baru di Utara  ( Gedong-Mulyo ), dua kampung Jawa baru di Layur dan Sambong, serta kantor kecamatan di Sambong.
Peta tahun 1877 dan 1881 keduanya menunjukkan bahwa kampung pedesaan tampak dipinggiran, sedangkan rumah-rumah Tionghoa ada di pusat kota. Dipeta itu kita juga dapat melihat markas militer di Ngemplak dan pabrik gula di Toelis (47).
Sambungan telpon pertama yang dipasang di Lasem pada tahun 1881 adalah untuk markas militer Belanda. Telpon tersedia untuk masyarakat pada permulaan paruh pertama abad ini.
Pada tahun 1882 perusahaan jalan kereta api SJS ( Semarang Joeana Stoomtram ) memasang jalan kereta api antara Semarang dan Joeana (48). Permintaan yang meningkat dari transportasi jalan kereta api mendorong pembukaan beberapa trayek baru termasuk Mayong pada tahun 1887, kemudian Rembang dan Lasem (49). Di Lasem pemasangan jalan kereta api dan stasiun kereta api sangat berhubungan erat dengan pabrik gula dan letak kota diperbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur (50).
Pada tahun yang sama Melvill van CARBEE membuat peta trigonometri dari pantai utara Jawa, dari Joeana sampai Rembang. Kita dapat mengenal dibagian topografi bahwa gunung Lasem ( gunung Argopuro ) menjadi dinding timur kota, sehingga jalan kereta api ke timur harus berhenti di Lasem dan melanjut ke selatan (51).
Pada tahun 1909-1910 telah ada jalan kereta api Rembang-Lasem untuk 13,10 km dan jalan kereta api masuk kota. Dipihak lain pabrik gula sudah tutup. Mungkin pabrik gula di Toelis ditutup tepat sesudah pembuatan jalan kereta api selesai. Pada tahun-tahun ini juga, markas militer di Ngemplak sudah hilang, sedangkan kantor kecamatan dipindahkan ke Gedong-Mulyo (52).

(47). Mengacu pada Overzich Kaart en Bladwijzer der residentie Rembang Topografus    
         Bureau Batavia, 1877. Dan Topografis Kaart der residentie Rembang, skala 1:100.000,   
         1881.  Dibandingkan dengan peta-peta  tahun 1842 dan keadaan sekarang,  kampung  di 
         dalam  kelompok orang Tionghoa dalam peta tahun 18677 tidak sesuai.
(48). LIEM Thian Joe ; 1933, halaman 146.
(49). LIEM Thian Joe ; 1933, halaman 152.
(50). Mengacu pada ” Post en Telegraf Kaart van Java en Madoera ” oleh J. BURMAN,   
        Juli 1887, Rijks Universiteit.
(51). Mengacu pada peta ” Noordkust Java Reden Djoeana en Rembang trigonometris   
         opgenomen ” oleh Z.M. Opneming Melvill van CARNBEE, 1887.
(52). Mengacu pada  ” Topografis  Kaart  der  Residentie  Rembang ”  skala 1:10.000, 1910,
         Rijks Universitiet, Leiden dan juga ” Kaart der Suiker Fabriek, Spoor en Tramwegen   
         van Java en  Madoera ” 1909-1910.

E.3. Munculnya Institusi dan Fasilitas Modern di Lasem

Sesudah berabad-abad pemerintah kekaisaran Cina di Cina membiarkan orang Tionghoa perantauan, maka pada tahun 1890 mereka disadarkan oleh potensi Tionghoa perantauan sebagai sumber dukungan politik dan keuangan. Kekaisaran menghapus larangan untuk Tionghoa perantauan kembali ke Cina. Beberapa orang Tionghoa di Nederlandsch-Indie telah kembali ke tanah leluhurnya, sedangkan sebagian besar yang lebih suka menetap, mulai melihat Cina sebagai suatu bangsa dan untuk mengenal dirinya sendiri. Identitas ini benar-benar diperlukan karena mereka telah mengalami diskriminasi oleh Belanda, seperti tingkatannya dalam masyarakat sebagai masyarakat kelas dua, sesudah Belanda dikelas pertama (53). Semangat baru untuk 248.488 orang Tionghoa  di  Jawa  ini  mendorong  lahirnya  organisasi  Tionghoa  modern  yang  pertama  yaitu Tiong-Hoa-Hwe-Kwan (THHK). Pertama-tama organisasi ini hanya terlibat dalam aspek sosial dan agama, tetapi secara bertahap menjadi badan untuk meningkatkan pendidikan orang Tionghoa (54).
Pada permulaan abad ini semangat perubahan modern di Cina mendapat inspirasi dari Kang Yu Wei, seorang intelektual, untuk mendirikan sekolah modern dan memperkenalkan satu bahasa nasional untuk mendirikan sekolah modern dan mempersatukan orang Tionghoa di seluruh dunia (55). Mengikuti gelombang baru ini, THHK sebagai organisasi modern yang didukung oleh pemimpin Cina-peranakan yang telah mempunyai latar belakang pendidikan Barat dan menyadari perlakuan diskriminasi Belanda terhadap pendidikan anak-anak Tionghoa, maka didirikanlah sekolah THHK untuk mereka (56).
Orang Tionghoa di Nederlandsch-Indie dapat dibagi dalam 2 kelompok yang berlainan, yaitu Peranakan dan Totok. Orang Tionghoa peranakan dilahirkan di Nederlandsch-Indie, sebagian dari darahnya ( dari ibunya ) adalah darah pribumi, budaya mereka merupakan campuran antara Tionghoa dan Pribumi, di rumah mereka lebih memakai bahasa orang pribumi daripada bahasa Cina. Dipihak lain Tionghoa totok adalah orang Tionghoa Nederlandsch-Indie yang dilahirkan di Cina, budayanya adalah budaya Cina dan mereka memakai bahasa setempat dari tempat di Cina dimana mereka berasal. Perbedaan ini sangat penting dalam pendidikan sejarah politik bangsa Indonesia sebagai keseluruhan dan terutama bagi orang Tionghoa Indonesia  (57). Pada permulaan, THHK didomonasi oleh Tionghoa peranakan, tetapi kemudian didominasi oleh Tionghoa totok (58).
Didorong oleh aktivitas Gerakan Etuka ( kelompok orang Belanda yang ingin berterima kasih pada orang pribumi yang telah tinggal selama berabad-abad ), maka pada tahun 1901 Nederlansch-Indie menyatakan bahwa kewajiban moral pada orang-orang pribumi ( untuk meningkatkan standart hidup orang pribumi ) menjadi salah satu prinsip dari setiap keputusan di masa mendatang. Kewajiban moral ini memojokkan orang Tionghoa dalam situasi yang sulit, disatu sisi mereka ditempatkan pada derajad yang sama dengan orang pribumi, disisi lain mereka mendapat batasan yang tidak diterapkan pada orang pribumi (59).
Namun jumlah sekolah THHK meningkat dalam waktu singkat, jika pada tahun 1901 hanya ada satu sekolah, maka pada tahun 1903 ada 13 dan pada tahun 1908 ada 54 sekolah THHK. Kecenderungan ini membuat pemerintah Belanda takut kehilangan kontrol terhadap orang Tionghoa. Maka segera pada tahun 1908 pemerintah mendirikan Hollandsch Chineesche School (HCS) di Batavia untuk pertama kali dan kemudian di kota-kota lain (60).
Di Lasem ada sekolah THHK dan HCS. Sekolah THHK ada di Toelis , sedangkan sekolah HCS ada di jalan raya ke Bonang. Pada tahun 1911 ada 93 sekolah THHK di Jawa. Di wilayah Rembang ada dua, yaitu di Lasem seperti sudah disebutkan dan di Rembang. Pada tahun 1914 ada 27 HCS di Jawa dengan 5203 murid dan pada tahun 1930-an ada 492 sekolah THHK dengan 19636 murid dan 858 guru yang sebagian besar datang dari Cina (61).

(53). WILLMOT Donald Earl ; 1960, halaman 21 - 25.
(54). SURYADINATA, Leo ; 1986, halaman 21 - 25.
(55). LIEM Thian Joe ; 1933, halaman 173 - 174.
(56). SURYADINATA, Leo ; 1986, halaman 6- 7.
(57). SURYADINATA, Leo ; 1986, halaman 1 - 2.
(58). SURYADINATA, Leo ; 1986, halaman 25.
(59). SURYADINATA, Leo ; 1986, halaman 22.
(60). SURYADINATA, Leo ; 1986, halaman 26.
(61). LIEM Thian Joe ; 1933, halaman 177 - 178.
                       
E.4. Huru-hara Kedua Anti Tionghoa di Jawa

Pada tahun 1912 ada huru-hara anti Tionghoa di Surabaya dan Surakarta, yang diikuti dengan huru-hara yang sama di Kudus  pada tahun 1918 (62). Huru-hara tahun 1918 diyakini mempunyai kaitan dengan partai politik Islam yaitu “ Syarekat Islam “. Partai ini berasal dari persatuan pedagang Islam yang tujuannya untuk meningkatkan kondisi ekonominya terhadap orang Tionghoa di Jawa (63). Persaingan antara pedagang pribumi dan orang Tionghoa menjadi lebih mencolok dalam huru-hara Kudus. Orang Jawa melemparkan batu dan membakar rumah orang Tionghoa. Tujuh orang Tionghoa dibunuh dan 60 orang Jawa dipenjarakan oleh Belanda (64). Peristiwa ini diikuti dengan perdebatan di surat kabar antara pemimpin orang Tionghoa dan pimpinan orang Jawa dari Syarekat Islam.
Pada tahun 1920-an Syarekat Islam menjadi partai politik yang paling penting di Jawa. Dipihak lain komunisme menyusup dalam partai ini, sehingga terpecah menjadi dua yaitu Syarekat Islam dan Syarekat Islam Merah yang kemudian berubah menjadi Syarekat Rakyat ( partai rakyat ) pada tahun 1912. Syarekat Rakyat ini yang menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) (65).

(62). SURYADINATA, Leo ; 1986, halaman 157, juga 1984, halaman 8 - 10.
(63). SURYADINATA, Leo ; 1986, halaman 27.
(64). LIEM Thian Joe ; 1933, halaman 239.
(65). SURYADINATA, Leo ; 1986, halaman 60.

E.5. Beberapa Fasilitas Baru di Lasem

Ketika suhu politik menigkat pada tahun 1913-1917, disamping pertumbuhan sekolah Tionghoa, ada juga sekolah pribumi di Bugisan ( Lasem utara ), Tjikalan, Babagan, dan Ngemplak. Dalam peta tahun 1913 telah ada rumah gadai di Babagan. Sudah ada jalan kereta api yang menghubungkan Lasem ke Bojonegoro melalui Jatirogo dan beberapa jalan aspal Dasun, Djombok, dan Bonang Kulon. Jalur telegram dan telpon diperpanjang dari Lasem ke pasar Banggi dan Lasem ke Jetis. Ada dua pasar, satu di Gedong-Mulyo ( pasar belakang ) dan yang lain di alun-alun sekarang. Daerah orang Jawa di dalam kelompok orang Tionghoa    ( Kauman ) menjadi lebih padat. Lasem sudah tumbuh menjadi kota kecil modern (66).
Sepuluh tahun sesudah itu, yaitu pada tahun 1922-1923 sudah ada gereja orang Tionghoa. Di Tawangrejo dan Dasun, Belanda memperluas fasilitas pembuatan kapalnya. Kedatangan orang Tionghoa baru di Lasem mendorong lebih cepatnya kepadatan di Gedong-Mulyo. Dibanding dengan Rembang, hunian Tionghoa di Lasem adalah 3 kali lebih besar daripada hunian orang Tionghoa di Rembang (67).

(66). Mengacu pada peta 1913-1917, Landrentekaarten Koningklijk Instituut voor de Tropen, Amsterdam.
(67). Mengacu pada peta 1922-1923, Topografis Dienst, Weliereden, 1925, Koningklijk  Instituut voor  de Tropen.

E.6. Pemberotakan PKI ( Partai Komunis Indonesia ) Pertama dan Pendirian Chung Hwa Hwe

Ada suatu huru-hara yang terjadi pada bulan Nopember 1926, yaitu PKI memberontak terhadap Belanda dibeberapa kota di Jawa Barat, Caringan, Laboan, Menes, Rangkasbitung, Bekasi, dan sekitarnya. Revolusi itu didukung oleh PKI lain di Ciamis, Jatinegara, dan Cimahi. PKI menginginkan revolusi yang besar, tetapi gagal. Belanda bangkit dari tidur nyenyak dari bahaya komunis. Segera sesudah revolusi, ribuan anggota PKI dibuang ke Boven-Digul ( Papua ) dan PKI dilarang (68). Tetapi partai tersebut tidak benar-benar mati, mereka menyusun kekuatan bawah tanah dan 2 tahun sebelum Jepang menduduki Jawa, PKI bawah tanah membangun markasnya di Lasem (69).
Untuk meningkatkan taraf hidup orang Tionghoa dan untuk mengkonsolidasi hubungannya dengan Cina, maka pada bulan April 1928 didirikan Chung Hwa Hwe (CHH) sebagai partai politik Tionghoa yang pertama di Nederlandcsh-Indie. Dalam waktu singkat CHH membuka cabangnya di beberapa kota –kota kecil, termasuk Lasem (70). CHH Lasem terlibat dalam gerakan bawah tanah dengan PKI ilegal selama pendudukan Jepang.   CHH mencoba menanamkan kekuatannya diantara   582.431 orang Tionghoa di Jawa  pada  tahun 1930 (71).
Pada tahun 1928, suatu kelompok nasionalis Indonesia mendirikan sekolah di Soditan, Lasem. Sekolah itu dinamai Taman Putra ( sekolah dasar untuk anak laki-laki ). Pada saat itu Soditan merupakan tempat dari nasionalis tradisional yang kuat di pantai utara Jawa. Pada tahun 1940 sekolah ini menjadi kamuflasi di bawah pengawasan Belanda, sekolah tersebut terus bertahan sampai pendudukan Jepang (72).
(68). LIEM Thian Joe ; 1933, halaman 274 - 276. Juga mengacu pada SURYADINATA Leo ; 1986,  halaman 61.
(69). Tentang PKI ilegal, lihat SURYADINATA, Leo ; 1986, halaman 165.
(70). SURYADINATA, Leo ; 1986, halaman 70.
(71). SURYADINATA, Leo ; 1986, halaman 67.
(72). LUCAS, Anton ; 1986, halaman 27.
(73). Archief voor de suiker industrie in Nederlandsch-Indie 42 Jaargang, 1934, ie Deel.


E.7. Penutupan Pabrik Gula

Pada tahun 1933, kerena rusak parah, pemerintah Nederlandsch-Indie menutup 62 pabrik gula di Jawa, termasuk beberapa pabrik gula di timur Jawa Tengah. Ini merupakan kelanjutan dari penutupan pabrik gula di Toelis beberapa tahun sebelumnya. Ini mengakibatkan merosotnya situasi ekonomi di pantai timur laut Jawa Tengah sampai sekarang (73).

E.8 Komentar

          Hunian Tionghoa dilengkapi dengan 3 pusat aktivitas ekonomi. Di Lasem utara dari Galangan sampai Dasun ( pelabuhan kecil disepanjang sungai Lasem dan pusat pembuatan kapal Belanda ) dan 2 pasar. Sedangkan kampung pedesaan di dalam kota ( Kauman ) menjadi statis, perkembangannya dihalangi oleh rumah-rumah orang Tionghoa, kampung pedesaan yang baru muncul di pinggiran. Perkembangan fisik mencapai puncaknya dengan pemasangan jalan kereta api pada permulaan abad ini. Kemudian beberapa infrastruksi modern seperti jalur telpon dan listrik terus-menerus berkembang sampai tahun 1942 ketika mulai perang.


F. LASEM DI BAWAH PENDUDUKAN JEPANG 1942 - 1945

F.1. Pusat Pembuatan Kapal Jepang di Lasem

Jatuhnya Singapura diikuti dengan runtuhnya keberadaan Inggris di Asia Tenggara, mempercepat gerakan Jepang maju ke selatan pada bulan Maret 1942. Pada 1 Maret 1942 angkatan bersenjata Jepang mendarat di beberapa tempat di pantai utara Jawa, termasuk Bonang (74). Dan pada tanggal 8 Maret, Nederlandcsh-Indie menyerah pada Jepang.
Pada permulaan pendudukannya, Jepang membuat Lasem sebagai salah satu dari 6 pusat pembuatan kapalnya di Jawa. Hal itu karena Lasem mempunyai letak yang sangat strategis dari sudut pandang militer.  Di Dasun dimana sudah ada fasilitas pembuatan kapal yang dibuat oleh Belanda, maka Jepang memperluasnya dan membuatnya sebagai prioritas utama militer Jepang. Jepang membutuhkan transpor laut untuk mengirim pasokan vital dari makanan dan obat-obatan kepasukannya yang terkepung di Guinea dan  Morotai yaitu pulau di timur laut Menado (75). Pusat pembuatan kapal yang lain adalah Pasar Ikan ( Jakarta ), Cirebon, Tegal, Pekalongan, dan Joeana (76). Program pembuatan kapal Jepang memperkerjakan 44.000 orang Indonesia yang diawasi oleh 215 insinyur Jepang untuk membangun 150 kapal yang sebagian besar bertenaga disel pada tahun 1942. Pada tahun 1943 diluncurkan 127 kapal, tetapi ambisi tahun 1044  yang mentargetkan 700 kapal diubah menjadi 343 kapal (77).
            Di Lasem 3 kampung dipindahkan dan beratus–ratus orang dibawa oleh Jepang sebagai bagian dari program pembuatan kapal ini . Pekerja-pekerja tersebut diasramakan diberbagai kampung disekitar Soditan (78).

(74). Wawancara dengan Liem Eng Siang, penjaga klenteng Dasun, September 1989. Dia menjelaskan   bahwa  ketika  Jepang mendarat,  mereka memakai banyak drum oli kosong yang ditarik oleh truk,  berjalan beriringan  dari Bonang ke Lasem. Bunyi dari drum kosong tersebut mirip dengan senapan dan hal itu membuat Belanda demikian gelisah dan menyerah.
(75). Dikutip dari LUCAS, Anton ; 1986, Halaman 28.
(76). LUCAS, Anton ; 1986, Halaman 101.
(77). LUCAS, Anton ; 1986, Halaman 28.
(78). LUCAS, Anton ; 1986, Halaman 28.
(79). LUCAS, Anton ; 1986, Halaman 29.
(80). Wawancara dengan Ny. Tan Sioe Hok, pertengahan Juli 1988.
(81). Wawancara dengan Tn. Oei Kam Tjiauw, 25 Agustus 1989.
(82). Dikutip dari LUCAS, Anton ; 1986, Halaman 150.
(83). LUCAS, Anton ; 1986, Halaman 35.


F.2. Situasi Kota dan Gerakan Bawah Tanah PKI di Lasem
PKI bawah tanah Lasem membina kader di ” Seinendan ” setempat ( korps pemuda di bawah orang Jepang ), ” Keibondan ” ( korps siaga ), brigade pemadam kebakaran dan asosiasi Tionghoa perantauan cabang Lasem ( Chung Hwa Chung Hwe ). Selain dari memasok kader-kader potensial, organisasi ini juga mencakup berbagai aktivitas seperti kursus bahasa Inggris di Sumber Girang (79).
Di Soditan, orang Jepang menghancurkan pagar tembok beberapa rumah agar mendapat ruang untuk memudahkan transportasinya (80). Beberapa gerbang rumah  dipotong dan beberapa pagar besi diambil (81). Jepang juga memakai beberapa rumah di jalan Dasun untuk markasnya.
Kehidupan Lasem selama pendudukan Jepang dicatat oleh aktivis PKI bawah tanah, yaitu Shinta Melati sebagai berikut :

(….) Pada waktu itu kota Lasem dalam keadaan tenang, kecuali tentara Jepang yang mabuk-mabukan. Mereka menyanyi dan tertawa tanpa sopan santun di jalan., muntah, dan pingsan. Jika mereka ditertawakan, mereka akan memaki atau menarik pistolnya dan menembak membabi buta. Situasi tersebut kadang-kadang mendorong pekerja galangan kapal Dasun hilang kesabarannya, untunglah ada lain yang menahan mereka dan malapetaka dapat dihindari (….)  (82). 

PKI bawah tanah Lasem terpecah pada pertengahan tahun 1943. Lima anggotanya ditangkap oleh Jepang (83). Jepang masih menduduki Lasem sampai datangnya hari kemerdekaan pada tahun 1945.



F.3. Komentar

Selama pendudukan Jepang, Lasem menjadi salah satu markas tentara Jepang. Karena masa perang, maka pusat Lasem dipindahkan ke utara dikedua pabrik kapal.


G. KEMEROSOTAN LASEM

G.1. Jaman Orde Lama 1945 - 1965 dan Perusakan Beberapa Bangunan

Tidak seperti di jaman Jepang, sesudah hari kemerdekaan, Lasem menjadi kota kecil tidak penting di bawah kabupaten Rembang. Hari kemerdekaan untuk Lasem berarti titik awal terjadinya kota ” kontra-evulusi ”  dan merosot dari hari ke hari.
Sesudah hari kemerdekaan 17 Agustus 1945, ketika orang Jawa pribumi memerintah negara, beberapa perubahan sosial terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Status ketiga yang diberikan oleh Belanda dihilangkan. Ini mendorong urbanisasi dari desa ke kota bersama dengan adanya fasilitas-fasilitas baru. Di Lasem mereka tinggal di pinggiran.
Di Lasem, bangunan pabrik gula dihancurkan dan ditempati kampung baru. Kita dapat mengenal tempat pabrik gula itu dengan nama Babrika ( Babrik diturunkan dari bahasa Belanda yaitu Fabriek ). Rumah-rumah di utara Soditan dihancurkan ketika gerilya nasionalis menyerang Jepang. Hanya ada 5 rumah yang tertinggal. Sungai Lasem yang dipakai sebagai pusat pembuatan kapal, sekarang menjadi dangkal, hanya rakit kecil yang dapat memasuki sungai itu. Kampung Bugisan juga hilang (84), sebagai gantinya beberapa orang pribumi membangun rumah disekitarnya. Sekolah Indonesia didirikan di timur Lasem, tidak hanya sekolah dasar, tetapi juga SMP dan SMA. Pasar di tengah kota diubah menjadi alun-alun. Dan markas militer di tingkat kecamatan ada di jalan raya (63). Perubahan ini tentunya tidak datang seketika, tetapi kurangnya data membuat tidak mungkin melacak tanggalnya dengan tepat satu-persatu (85).
Namun beberapa aturan baru diberlakukan bersama dengan timbulnya pemerintah baru. Kekuatan politik baru tentunya mempengaruhi kota kecil ini, khususnya penduduk Tionghoa. Pada tahun 1946 huru-hara
anti Tionghoa terjadi di Kebumen ( Jawa Tengah ) dan Tangerang ( Jawa Barat ) dimana demikian banyak Tionghoa setempat dibunuh dan rumah mereka dibakar. Moh. Hatta, sebagai wakil presiden memberi komentar pada peristiwa yang brutal ini. Beliau mengatakan bahwa orang Tionghoa di Indonesia adalah pedagang dan kelas menengah antara orang Belanda dan Jawa. Mengenai perlawanan orang Jawa terhadap  Belanda, orang Tionghoa bersikap netral, apa yang paling mereka perhatikan adalah cari uang. Tetapi, selama pendudukan Jepang, orang Tionghoa juga menderita dari kekejaman Jepang. Dalam pandangan orang pribumi, orang Tionghoa adalah kapitalis asing yang selalu berada di puncak ekonomi negara (86).
Bersama dengan huru-hara anti Tionghoa, pada tahun 1948 pemerintah ” Indonesia Baru ” mengumumkan peraturan kewarganegaraan yang baru. Orang asing yang dilahirkan di Indonesia dan telah tinggal selama lebih dari 5 tahun adalah warganegara Indonesia (87). Pengumuman ini membuat orang Tionghoa mempunyai kewarganegaraan ganda yaitu Indonesia dan Cina. Peraturan ini dipastikan dengan Konferensi Meja Bundar ( di Den Haag ) pada tahun 1949. Tetapi perjanjian ini memberi kesempatan bagi orang Tionghoa, yaitu jika tidak ingin mempunyai kewarganegaraan Indonesia, maka harus menolaknya di pengadilan. Pada tahun 1950 ada 390.000 orang Tionghoa menolak kewarganegaraan Indonesia. Dengan demikian kira-kira satu juta orang Tionghoa di Indonesia mempunyai kewarganegaraan ganda (88).


(84). Kampung Bugisan adalah hunian untuk orang Bugis yang datang dari Sulawesi Selatan.
(85).  Beberapa wawancara dengan penduduk Lasem.
(86). Dikutip dari SURYADINATA, Leo ; 1984, halaman 19.
(87). SURYADINATA, Leo ; 1984, halaman 116.
(88). SURYADINATA, Leo ; 1984, halaman 117.



G.2. Pengurangan Sekolah Tionghoa

Pada tahun 1948 sekolah yang memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dibuka lagi setelah ditutup selama pendudukan Jepang. Banyak orang Tionghoa yang memasuki sekolah ini. Bahkan di Universitas Indonesia yng memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, 67,9 % dari staf pengajar universitas adalah orang Tionghoa. Sesudah Konferensi Meja Bundar, bahasa pengantar dari sekolah ini sudah diubah menjadi bahasa Indonesia (89). Di Lasem, sesudah tahun 1949 sebagian besar sekolah memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar, kecuali sekolah THHK yang memakai bahasa Tionghoa.
Berdirinya Cina Komunis pada Oktober 1949 membuat orang Tionghoa di daratan Cina menaruh perhatian pada orang Tionghoa Indonesia. Hal ini memberi pengaruh besar pada tahun 1958 ketika sekolah Tionghoa pro-Taipeh ditutup pada 15 Oktober. Sesudahnya sebagian besar sekolah Tionghoa di Indonesia mengarahkan diri ke Peking sebagai tempat bernaung sampai gagalnya kudeta oleh PKI pada bulan Oktober 1965 (90).
Pada tahun 1957 pemerintah menerbitkan peraturan baru yang secara drastis mengurangi banyaknya sekolah Tionghoa. Pemerintah Indonesia melarang orang Tionghoa Indonesia yang warganegara Indonesia menjadi bersifat ke Cina-cinaan dengan bersekolah Tionghoa. Juga pemerintah ingin memisahkan mereka dari Tionghoa totok. Besarnya perubahan ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa pada bulan Nopember 1957 ada 2000 sekolah Tionghoa dengan 425.000 murid di seluruh Indonesia, dimana 250.000 diantaranya adalah warganegara Indonesia. Pada bulan Juli 1958 sesudah peraturan pendidikan baru, hanya ada 850 sekolah Tionghoa, dengan 150.000 murid. Pada saat yang sama, 1.100 sekolah Tionghoa diubah menjadi sekolah nasional Indonesia (91). Pada tahun yang sama SD Wijaya ( Sekolah Dasar Wijaya ) didirikan di Lasem yang menjadi salah satu sekolah nasional Indonesia.
Pada tahun 1954 didirikan 2 organisasi politik Tionghoa yaitu Baperki ( Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia ) dan LPKB ( Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa ). Baperki cenderung menjadikan Peking sebagai kiblatnya dan secara eksklusif membuat jarak dengan orang Indonesia pribumi, sedangkan LPKB cenderung berasimilasi secara total dengan pribumi Indonesia. Baperki mengelola sekolah nasional Indonesia yang sebagian besar muridnya adalah orang Tionghoa (92). Pada tahun 1960 ada 600.000 orang Tionghoa yang warganegara Indonesia dan pada tahun 1962 ada 800.000 orang Tionghoa yang memegang kewarganegaraan Indonesia (93).
(89). SURYADINATA, Leo ; 1984, halaman 24.
(90). SURYADINATA, Leo ; 1984, halaman 161.
(91). SURYADINATA, Leo ; 1984, halaman 160.
(92). SURYADINATA, Leo ; 1984, halaman 160.
(93). COPPEL, Charles A ; 1982, halaman 10.


H. PERUSAKAN ARSITEKTUR CINA


H.1. Orde Baru dan Kemerosotan Budaya Tionghoa, 1966 - …..

Pada puncaknya, yaitu hubungan dekat antara Baperki dan PKI ; hubungan antara rezim Soekarno ( presiden pertama Indonesia 1945-1966 ) dan Mao Tze Tung ( Cina ) ; dan juga propaganda Republik Rakyat Cina, termasuk untuk mendapat simpati diantara orang Tionghoa Indonesia supaya melawan imperialisme Barat, maka dini hari 30 September 1965, PKI melancarkan kudeta berdarah dan membunuh beberapa jendral. Sehari kemudian, pada 1 Oktober, kudeta tersebut telah ditekan oleh angkatan darat di bawah komando Letnan Jendral Soeharto.
Munculnya Orde Baru diwarnai dengan pembubaran PKI, membekukan hubungan diplomatik antara Jakarta dan Peking dan tentunya huru-hara anti Tionghoa disebagian besar kota di seluruh Indonesia. Setelah huru-hara ini, orang Tionghoa menyingkirkan tanda ke Tionghoa-an apapun dari rumahnya dan menyimpannya, misalnya papan tulisan dan patung Cina. Mereka menutupi tulisan-tulisan Cina di gerbang rumahnya. Buku dan tulisan yang ditulis dalam bahasa Tionghoa dibakar, sekolah Tionghoa ditutup. Baperki dan organisasi Tionghoa lain yang bekerjasama dengan Peking dilarang. Dan jaman baru terjadi di Indonesia, terutama dalam masyarakat Tionghoa.
Prinsipnya pemerintah Orde Baru ingin mempercepat asimilasi diantara orang Tionghoa ke dalam budaya Indonesia setempat, Jendral Nasution pada bulan Mei 1966 mengatakan bahwa orang asing ( Tionghoa ) yang memegang kewarganegaraan Indonesia harus mempunyai kesetiaan politik untuk pemerintah Indonesia. Garis batas yang jelas harus ditarik antara penduduk Tionghoa asing dan Tionghoa Indonesia. Integrasi dan asimilasi total ( melupakan budaya Tionghoanya ) akan membuatnya menjadi 100 % orang Indonesia (96).
Setiap orang Tionghoa di Indonesia harus mengasimilasikan dirinya sendiri ke budaya pribumi. Tidak hanya bahasanya, tetapi juga budaya dan agamanya. Sekarang sebagian besar klenteng Tionghoa dalam keadaan kosong dan hanya sedikit menjadi penuh pada hari yang sangat khusus. Sebagian besar orang Tionghoa di Indonesia sudah melupakan konfusius Yang Agung. Mereka sekarang menjadi orang Kristen atau bahkan Islam untuk mengasimilasi dirinya sendiri menjadi orang pribumi.
Dan persepsi yang paling penting adalah persepsinya Soeharto. Beliau seperti jendral militer yang lain menerima orang Tionghoa sebagai minoritas asing dan beliau menghendaki orang Tionghoa berasimilasi kedalam pribumi Indonesia. Pada tahun 1966 beliau memerintahkan penggantian nama pada orang Tionghoa warganegara Indonesia, dari nama Tionghoa menjadi nama Indonesia pribumi dan mempercepat asimilasi. Pada Agustus 1967, dalam pidatonya di depan parlemen, beliau mengatakan bahwa harus ditarik garis yang tegas antara orang Tionghoa warga negara Indonesia dan orang Tionghoa warga negara asing   ( Cina) (97).
Di Lasem, budaya Tionghoa masih ada sampai pertengahan tahun 1970-an. Arak-arakan tahunan dari klenteng Dasun masih dilakukan. Pada tahun 1972 masih ada arak-arakan ” Cap Go Meh ” yang diliput oleh majalah Liberty (98).Tetapi sekarang tidak ada lagi arak-arakan tahunan di Lasem.
(94). SURYADINATA, Leo ; 1984, halaman 141.
(95). SURYADINATA, Leo ; 1984, halaman 141.
(96). SURYADINATA, Leo ; 1984, halaman 35.
(97). SURYADINATA, Leo ; 1984, halaman 37 - 38.
(98). Liberty ; April 1, 1972, No. 969, tahun XIX, Surabaya.
(99). SURYADINATA, Leo ; 1984, halaman 36.

H.2. Matinya Arsitektur Tionghoa

Sebagai kelanjutan usaha untuk menghilangkan budaya Tionghoa, Mayor Jendral Soemitro mengeluarkan pernyataan yang sangat penting dalam konteks lingkungan bangunan. Pernyataan ini diterbitkan dalam harian ” Berita Antara ” 5 Januari 1967 sebagai berikut :

(….) Kita ( Indonesia pribumi ) tidak dapat menerima lagi klenteng, juga semua peninggalan Tionghoa yang didekorasikan dengan gambar bercorak Tionghoa. Kita akan mengubahnya menjadi budaya pribumi Indonesia. Dan langkah kita harus diterima (….) (97).

Pernyataan ini dapat dianggap sebagai titik awal penghapusan identitas Tionghoa dan keberadaannya dalam sejarah Indonesia. Pada saat yang sama hal itu menunjukkan bahwa arsitektur menjadi cara yang paling mudah untuk mengenal kelompok tehnik tertentu .Tanpa kecuali, pembuatan bangunan baru dalam hunian Tionghoa yang mempunyai sedikit corak Tionghoa dilarang.
Tetapi keinginan pemerintah untuk mengasimilasi dan mengintergrasikan orang Tionghoa kedalam identitas pribumi bukan satu-satunya alasan untuk matinya arsitektur Tionghoa. Ada 2 alasan lain, yang pertama adalah modernisasi cepat yang mengubah persepsi Tionghoa secara total terhadap budaya dan arsitektur tradisionalnya sendiri. Yang kedua perlunya pelebaran jalan didaerah Tionghoa sebagai bagian dari program pengembangan. Di Lasem disamping pelebaran jalan pada permulaan tahun 1970, juga memotong demikian banyak gerbang rumah yang indah. Beberapa bangunan tua dihancurkan oleh pemiliknya dan digantikan arsitektur baru .
Kondisi tragis ini menjadi lebih buruk karena arsitektur Tionghoa Indonesia tradisional ini tidak dilibatkan dalam pendidikan arsitektur . Para pendidik dan arsitek lebih tertarik untuk mempelajari arsitektur jawa ( yang dinyatakan sebagai identitas mereka )  dan mereka menerapkan kedisain barunya. Karenanya demikian banyak bangunan baru dengan Joglo ( bentuk atap Jawa tradisional ) didirikan selain Klenteng Tionghoa. Di kota yang lebih besar seperti Semarang dan Jakarta, perusakan arsitektur Tionghoa terus melaju sampai hari ini.
Saya setuju dengan asimilasi budaya , karena ini akan membuat hidup yang lebih aman diantara kelompok masyarakat yang berlainan dalam negara banyak etnis seperti Indonesia. Tetapi perusakan budaya dan arsitektur apapun merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Dan juga arsitektur Tionghoa di Indonesia tidak hanya milik kelompok Tionghoa, tetapi milik Sejarah Indonesia, setiap warga negara yang mencintai warisan ibu pertiwinya. Arsitektur Tionghoa Indonesia, bukanlah arsitektur Republik Rakyat Cina. Arsitektur  Tionghoa di Indonesia adalah arsitektur Indonesia. Hal itu tidak dapat diungkiri dari sejarah negaranya sendiri.
Tetapi pemerintah baru sedang mencoba memberi horison baru untuk Lasem. Meskipun jenjangnya hanya Kecamatan, tetapi beberapa fasilitas di bangun, seperti gereja, masjid, sekolah, renovasi pasar lama di barat daerah pecinan, membangun terminal bus dan mini bus baru di sebelah pasar ini. Pada tahun 1970 an pemerintah daerah memperlebar jalan raya, sehingga mengakibatkan pemotongan demikian banyak rumah Tionghoa yang indah dibagian depannya. Tetapi, masalahnya adalah bahwa semua itu tidak memberi keuntungan yang besar seperti di kota yang lebih besar. Di pecinan yang dulunya merupakan pusat Lasem menjadi kosong, ditinggalkan oleh orang-orang muda dan kampung pedesaan baru dari nelayan muncul di pinggiran Lasem .


H.3. Komentar
           
Masa kemerosotan terus melanjut sampai orde baru timbul pada tahun 1965, ketika asimilasi budaya ( perubahan dari budaya Tionghoa ke budaya pribumi pada orang-orang Tionghoa ) didengungkan. Tidak seorangpun berpikir tentang pelestarian arsitektur Tionghoa di Indonesia. Saat sekarang orde baru telah Berakhir, dan masyarakat Tiong Hwa di berikan kebebasan, marilah kita melestarikan kebudayaan Tiong Hwa yang tersisa dan Sejarahnya agar bisa selalu di ingat oleh generasi selantujnya, terima kasih.

2 komentar:

  1. Tulisan ini merupakan terjemahan dari Pratiwo diuniversitas Leuven Belgian tulisan yang asli dalam bahasa inggris sudah diterbitkan sebagian di www.wisindo.com disertai dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia.

    BalasHapus
  2. Tulisan ini merupakan terjemahan dari tesis master dari bapak Pratiwo di universitas Leuven belgia. Tulisan asli dalam bahasa inggris Dan terjemahan yang lebih baik diterbitkan di www.wisindo.com

    BalasHapus