Rabu, 20 Juli 2011

SEJARAH PERANG CINA DI LASEM


PERANG CINA 1742 DAN 1750 DI LASEM

Pada tahun 1679, Lasem sebagai Bagian dari kerajaan Mataram diserang oleh VOC yang ingin mendapatkan monopoli perdagangan dipesisir pantai utara Jawa. VOC dibantu oleh Sunan Amangkurat II akhirnya dapat menaklukan Lasem setelah melalui peperangan yang berlangsung lama dan berlarut-larut. Hal ini akhirnya  menimbulkan kebencian warga Lasem ( Warga Pribumi maupun Tionghoa telah membaur waktu itu ) terhadap Belanda maupun penguasa Mataram sebagai boneka VOC.

Pada tahun 1714, Sunan Pakubuwono I mengangkat Pangeran Tejakusuma V menjadi Adipati Lasem. Ia tak menyukai Sunan Pakubowono I maupun penggantinya yaitu Sunan Pakubowono II yang sangat erat dengan VOC. Diam-diam beliau banyak membantu Arya Mataram dan Prabu Purbaya melawan VOC dan Penguasa Mataram.

Setelah pembrontak Mataram semakin surut maka pada tahun 1727 Prabu Tejakusuma V mengundurkan diri dengan alasan kesehatan dan mulai tuli. Putranya Raden Panji Margana tidak berkeinginan menjadi Adipati Lasem, ia lebih memilih menjadi pengusaha pertanian dan pelayaran.

 Akhirnya jabatan Bupati Lasem diserahkan kepada sahabat karibnya yang bernama Oey Ing Kiat seorang Pengusaha Tionghoa Islam yang sangat kaya, pengusaha pelayaran yang mempunyai banyak sekali jung dan perahu antar pulau. Oey Ing Kiat dilantik menjadi Adipati Lasem pada tahuan 1727 oleh Sunan Pakubowono II dan diberi gelar Tumenggung Widyaningrat. Oey Ing Kiat adalah keturunan Bi Nang Oen, salah seorang juru mudi armada Laksamana Ceng Ho yang mendarat di Bonang-Lasem. Bi Nang Oen seorang pujangga dari Campa dan penyebar agama Islam di Lasem pada awal abad ke XV.

Pada tahun 1740 , akibat pembantaian orang Tionghoa di Batavia, kurang lebih 1.000 orang Tionghoa Batavia lari dan mengungsi di Lasem sehingga penduduk Tionghoa Lasem naik hampir dua kali lipat. Pada tahun 1741, akibat kerusuhan di Kartasura, Ngawi dan banyak kota di Jawa Tengah banyak orang Tionghoa mengungsi ke Lasem. Adipati Widyaningrat mengajak Raden Panji Margana untuk melindungi para pengungsi dan beliau langsung menyetujui mengingat Raden Panji Margana sangat benci Belanda dan juga pada Sunan Pakubuwono II. Untuk itu Raden Panji Margana menguruk rawa Sambong dan Narukan di barat kota Lasem menjadi pemukiman para pengungsi.



Para pengungsi Tionghoa dan juga warga Lasem yang dendam kepada VOC akhirnya sepakat mengangkat senjata untuk mengusir VOC dari pulau Jawa dan akhirnya mereka sepakat mengangkat tiga serangkai pemimpin pembrontakan terhadap VOC, yaitu :
1.    Raden  Panji  Margana   yang  akan   menyamar  sebagai  orang  Tionghoa  dengan  nama Tan Pan Ciang  dan  berpakaian  baju  hitam celana pangsi hitam seperti pendekar kungfu pada waktu itu.
2.    Tan Kee Wie seorang pengusaha tambak ikan dan pembuat ubin terra-cotta yang gemar berderma untuk fakir miskin, juga adalah pendekar kungfu kota Lasem.
3.     Raden Ngabehi Widyaningrat – Tumenggung Lasem alias Oey Ing Kiat.

Penyerangan oleh Pembrontak Lasem ini dibagi menjadi dua kelompok, kelompok penyerang dari Laut dipimpin oleh Tan Kee Wie dan kelompok penyerangan jalan kaki dipimpin oleh  Raden Panji Margana dan Raden Ngabehi Widyaningrat. Pada awalnya dibantu oleh Pembrontak dari Dresi dan Jangkungan mereka menyerang tangsi Belanda di Rembang. Tangsi tersebut berhasil diporak porandakan serta banyak serdadu Belanda dan kaki tangannya terbunuh. Kemudian dari Rembang mereka bergerak ke Barat dengan menyerang tangsi Belanda di Timur sungai Juwana. Dalam penyerangan ini mereka dibantu  pembrontak Tionghoa dan Jawa dari Purwodadi. Pertahanan Belanda di Juwana ini sudah diperkuat dengan senapan api dan meriam VOC dari Semarang sehingga pada serangan pertama pada siang hari mereka gagal.

Pada penyerangan kedua menjelang subuh esok harinya dari arah selatan dengan memakai rakit bambu dan batang pisang melalui sungai Juwana mereka dapat merebut tangsi tersebut. Keesokan harinya datang lagi bala bantuan VOC dari Semarang  yang mengakibatkan kerugian besar dipihak pembrontak tetapi akhirnya kemenangan dapat diraih mereka.

Dari kota Juwana mereka hendak menyerang tangsi Belanda di Jepara. Tan Kee Wie dengan armada Jung dan perahu berangkat dari Dresi, sampai dipesisir Tayu mereka dapat tambahan orang Tionghoa Tayu yang juga sudah siap ingin ikut menyerang Belanda di Jepara. Malang tak terelakkan karena sewaktu jung yang dinaiki Tan Kee Wie melewati celah antara Ujung Watu dan Pulau Madalika ditembaki meriam Belanda dari dua sisi sehingga jung tersebut pecah kena peluru meriam dan beliau tewas ditengah laut ( 5 Nopember 1742 ) .

Sisa armada Lasem yang selamat berbalik arah ke timur dan mendarat di timur Ujung Watu, melalui hutan Danareja mereka menyerang Belanda di Ujung Watu pada esok pagi buta.

Pada penyerangan ini hanya sebagian kecil serdadu Belanda yang bisa lolos lari ke Jepara sedangkan yang lainnya terbunuh. Karena kekuatan pembrontak di Ujung Watu tinggal sedikit, akhirnya mereka memutuskan kembali ke Lasem lewat laut sambil membawa rampasan senapan, amunisi dan senjata lainnya.

Untuk menghormati kepahlawanan Tan Kee Wie dan rekan-rekan mereka yang gugur maka dibuatlah prasasti batu granit berukir ditempatkan pada batas tembok Tan Kee Wie di Batok Mimi yaitu bagian kiri dari muara sungai Paturen yang membelah kota Lasem.

Di Juwana pembrontak Lasem mendapat lagi bantuan dari selatan yaitu dari Jaken dan Kawak yang dipimpin oleh Ki Ageng Sukawangi ( beliau adalah keturunan Adipati Lasem pada abad ke 15, Mpu Santibadra ).  Di  Juwana  ini  mereka  diserang  dari  timur oleh prajurit sewaan dari Madura  ( Adipati Cakraningrat ) dan prajurit bayaran dari Tuban. Pembrontak Lasem akhirnya mengalami kekalahan besar di Juwana, sisa-sisanya tercerai berai.

Raden Panji Margana bersama pengawalnya Galiyo melepas baju hitamnya dan menukarnya dengan pakaian rakyat biasa di desa Raci. Berdua mereka membeli peralatan dapur bekas dari tembaga yang mereka pergunakan dalam penyamaran sebagai tukang loak barang tembaga dalam perjalanan kembali ke Lasem.

Dengan selamat mereka berdua sampai di Lasem, tetapi Raden Panji Margana dilanda rasa kecewa berat / frustasi sehingga beliau sakit berbulan-bulan . Tetapi kondisi ini pula akhirnya menjadi dewa penyelamat karena VOC menjadi tak curiga bahwa beliau pernah menjadi pemimipin pembrontak di Rembang dan Juwana.

Bila Raden Panji Margana kembali ke Lasem, Adipati Widyaningrat melepas pakaian hitamnya dan menyamar menjadi orang Jawa. Beliau hendak pergi ke Kartasura dengan mengaku sebagai penduduk Kartasura yang berprofesi sebagai pedagang gamelan buatan Lasem dan hendak kembali ke Kartasura karena terhalang perang di Juwana. Sesampainya di Kartasura beliau melapor ke Sunan Pakubuwono II bahwa ia  lari dari Lasem karena hendak dibunuh oleh kaum pembrontak.

Setelah keadaan tenang Oey Ing Kiat kembali ke Lasem dan oleh Sunan Pakubuwono II kedudukannya sebagai Adipati Lasem dicabut dan oleh VOC ia hanya diberi kekuasaan mengatur orang Tionghoa Lasem dengan pangkat Mayor.

Dikisahkan dua putra Raden Panji Sumilir seorang sesepuh masyarakat Lasem yaitu Raden Panji Suryakusuma dan Raden Panji Suradilaga bertempat dibekas candi Malad ( candi untuk menyimpan abu leluhur ) bersumpah untuk membunuh bupati Suro III dan mengusir bangsa Belanda.

Pada Agustus 1750 Raden Panji Margana mendengar bahwa pembrontak di Argosoka hendak mengangkat senjata maka semangatnya untuk melawan Belanda timbul kembali . Pada suatu hari Kamis Raden Panji Margana meminta agar masyarakat Lasem berkumpul, pada hari Jum’at esok harinya di alun-alun didepan masjid Lasem sembahyang Jum’at tersebut dipimpin oleh Imam Kyai Ali Badawi seorang ulama keturunan Mpu Santibadra . Setelah selesai bersembahyang ia mengumumkan mengajak umat Islam Lasem perang jihad mengusir Belanda dan antek-anteknya dari bumi Rembang bergabung dengan pembrontak Tionghoa dari gunung Argasoka.

Raden Panji Layakusuma seorang pendekar dari desa Gada dibantu Ki Ageng Dapa ( keturunan Mpu Santibadra ) memimpin pembrontak dari Gada, Kasareman, Badeg dan Ngadem menyerang Rembang dari arah selatan.  Pembrontak dari arah Pamotan dan Sedan yang dipimpin oleh Nayagimbal sudah mendahului menyerang VOC di Rembang tertangkap di desa Tireman.

Rencana penyerangan Rembang ini rupanya bocor dua minggu sebelum penyerangan terjadi, VOC dan Adipati Suroadimenggolo III mengungsikan anggota keluarganya ke Jepara dan Semarang via laut serta minta bantuan serdadu dari sana dan juga bantuan dari bupati bupati yang sudah mengabdi pada VOC.

Bantuan prajurit dari Bupati Tuban dipimpin oleh Tumenggung Citrasoma menurunkan prajuritnya di Bonang dan Leran dan dihadang oleh pembrontak Argasoka pimpinan Raden Panji Suryakusuma. Perang ini berlangsung sampai di Karangpace dan Gombong.

Sebagai pengganti Raden Ngabehi Widyaningrat, Gubernur Jenderal VOC Baron Von Imhoff mengangkat Suroadimenggolo III dari Semarang sebagai Adipati Lasem. Ia berwatak kasar, suka menghina, sok suci dan sewenang-wenang. Ia tinggal di Tulis ( Barat Lasem ) dimana VOC juga membangun benteng disana, hal ini untuk resiko perlawanan orang Tionghoa.

Pada bulan Nopember 1743, di Dresi orang-orang Tionghoa yang hidupnya telah membaur dengan penduduk Jawa asli dipaksa VOC pindah tinggal di tengah kota dan dilarang bergaul dengan penduduk asli dan mereka diawasi secara ketat. Mereka disuruh berdagang hasil bumi yang hasilnya harus disetorkan kepada pihak VOC. Mereka juga diserahi sebagai tukang terima gadai, penjual candu dan garam milik VOC. 
Lasem 1747, rakyat Lasem dikumpulkan dan diancam :
  1. Siapa-siapa yang bersengkokol dengan pemberontak akan disiksa sampai mati.
  2. Dilarang menyimpan kitab-kitab suci Hindu Syiwa, Budha, Pustaka Sabda Badrasanti                    ( Babad Bumi Lasem ) dan catatan - catatan heroisme pembrontak dan menyerahkannya ke Kabupaten. Barang siapa yang masih menyimpan akan dihukum cambuk dua puluh lima kali.
  3. Candi-candi di Lasem harus dibongkar dan patung-patungnya dihancurkan.
 Alhasil ribuan kitab dan buku lontar berhasil dikumpulkan di alun-alun dan dibakar, kecuali
kitab-kitab yang berada di kediaman Raden Panji Margana.

Pada tahun 1748, candi-candi di Lasem mulai dihancurkan dan hal ini memicu kemarahan masyarakat Lasem dan mereka sepakat untuk membunuh Suroadimenggolo III.

Suroadimenggolo III mengetahui bahwa nyawanya terancam dan pembrontak Lasem yang bersembunyi di hutan gunung Argosoko, barat kota Lasem mau bergerak lagi, maka dia memutuskan pindah ke Magersari – Rembang.  Begitu pula VOC memindahkan benteng Tulis ke Rembang.

Tentara VOC dari Jepara menyusup dari laut sampai di Layur ( barat sungai Paturenan sebelah utara Lasem ). Mereka dihadang  oleh pembrontak Lasem dibawah pimpinan Mayor Oey Ing Kiat yang mempunyai banyak senapan dan meriam hasil rampasan. Senjata-senjata tersebut disembunyikan dalam terowongan yang digali ditepi sungai Paturenan.

Di timur sungai Paturenan sebelah utara Lasem, serdadu VOC dan prajurit Citrasoma dihadang oleh pembrontak Lasem yang dipimpin oleh Kyai Badawi.  Bala sabil ini menggunakan ilmu kanuragan  ” PETAK SEGARA MACAN ”  yang mana ilmu ini membuat orang tak dapat terluka oleh senjata tajam.

Tetapi banyak bala sabil yang mati dihantam peluru meriam yang ditembakkan Belanda dari kapalnya. Dibarat Lasem yaitu di Narukan dan Karangpace sampai ke utara dipinggir laut, pembrontak dibawah pimpinan Raden Panji Margana bertempur dengan serdadu Belanda dan antek-anteknya, bertempur jarak dekat satu lawan satu.

Perang disini tak memakai senapan karena tak cukup waktu untuk mengisi mesiu dan peluru. Di Narukan ini lambung sebelah kiri Raden Panji Margana terluka oleh pedang sehingga sebagian ususnya keluar. Beliau dibawa mundur oleh Ki Mursada yang kemudian digendong oleh Ki Galiya ( pengawal pribadinya ) dibawa lari dengan dilindungi oleh Ki Mursada yang terus memainkan  jurus-jurus goloknya.

        Sesampainya ditempat sepi , di utara Gombong, mereka berhenti untuk merawat luka  Raden Panji Margana yang banyak mengeluarkan darah yang akhirnya Raden Panji Margana meninggal dunia. Sebelum meninggal dunia beliau meninggalkan pesan-pesan sebagai berikut :

  1. Agar jenasahnya dikubur dibawah pohon trenggulun di desa Sambong dan kuburannya tanpa gundukan tanah dan batu nisan.
  2. Istri dan anak-anaknya diungsikan ke Narukan.
  3. Buku  -  buku  suci  dan  Pustaka  Badrasanti  koleksinya  agar  dititipkan  pada  Ki Badraguna ( lurah Criwik )
  4. Tembang sinom gubahannya sewaktu pulang dari perang Juwana agar dilestarikan sebagai kidung para dalang dan pesinden Lasem.
Apabila pembrontak dari Gada yang dipimpin oleh Raden Panji Mlayakusuma bertarung dengan Kompeni di Padang Kali Untu, maka pembrontak bantuan dari Ngadem dan Badeg berhadapan dengan prajurit Kompeni dari Blora di Besi., Raden Panji Mlayakusuma mengirim tim penyusup ke Rembang  yang menyamar sebagai penjual air sambil membawa rawe dan getah pohon rengas yang gatal untuk dimasukan ke dalam sumur prajurit-prajurit kaki tangan Belanda dan sumur tangsi Belanda.

Sore hari sewaktu prajurit Belanda dan begundalnya mandi, mereka merasa gatal pada kulit, sehingga melepuh. Malamnya pembrontak Lasem dibawah Raden Panji  Mlayakusuma membakar tangsi mereka sewaktu masih kegatalan. Kepanikan prajurit Belanda disambut dengan pedang parang Lasem, korban dipihak Belanda mencapai ratusan orang. Setelah itu pembrontak Lasem menghilang masuk ke perkampungan penduduk.

Ki Noyosentono lurah Waru, penasehat Bupati Suroadimenggolo III yang terkenal sakti dengan ajian ” PANGLIMUNAN ”  setelah mendengar bahwa Raden Panji Mlayakusuma yang bekas atasannya ikut memimpin pembrontak Lasem membela Pangeran Talbaya, beliau membangkang tak mau lagi menjadi abdi Bupati Suroadimenggolo III. Ia memerintahkan semua keluarga dan abdinya ikut beliau melarikan diri ke Gunung Kendeng Blora, mengungsi di dukuh Loh Gede dimana pamannya tinggal.

Setelah menyerahkan keluarganya pada lurah Loh Gede, ia bersama penduduk Loh Gede yang mendukungnya bergabung dengan pembrontak dari Babadan dan Pengkol yang dipimpin oleh Ki Noyogembong adik dari Ki Noyosentono.

Prajurit Belanda dari Pati dan Juwana bertemu / bertempur dengan pembrontak Pengkol di Sekengkeng dan Rumbut Malang dan juga di Bukit Cering. Prajurit Belanda dengan senapan dan meriam dalam jumlah besar, tembakannya membuat kebakaran rumah di Dresi dan korban dipihak  pembrontak cukup besar, tembakannya membuat Pengkol yang menyusup ke Timur lewat Cering banyak yang tewas.

Alkisah di medan perang Layur, Mayor Oey Ing Kiat ketika mendengar berita bahwa Raden Panji Margana telah meninggal karena luka di Karang Pace sangat marah sambil berteriak-teriak : ” Aku ingin mati menyusul saudaraku Den Panji dan saudaraku Tan Kee Wie ”.

Dengan membawa pedang pusaka Naga Gak Sow Bun nekad maju menyusup kedepan kemedan perang. Desing peluru dan ledakan peluru meriam tak membuat ciut nyalinya. Banyak prajurit Belanda tewas di tangannya. Karena amarah yang tak terkendali membuat hilang kewaspadaannya dan beliau tertembak dadanya oleh serdadu bayaran Belanda dari Ambon.

Dengan mendekap dadanya yang terluka, Oey Ing Kiat mundur dari medan perang. Dibelakang medan perang ia ambruk dan meninggalkan pesan kepada yang mengelilinginya agar jasadnya dikubur dilereng puncak gunung Bugel dan menghadap barat. Makamnya hendaknya ditandai dengan dayung perahu dan pohon beringin dan lokasinya dirahasiakan kecuali hanya keluarga yang tahu. Jenasahnya dibawa ke Warugunung di rumah istri mudanya (putri Bupati Tuban) untuk dibersihkan dan dimakamkan ditempat yang dimintanya.

Dengan istri mudanya ini Oey Ing Kiat mempunyai tiga  putra  putri yaitu : Sudana, Suparing dan Sudriyah. Nantinya Sudana menjadi asisten lurah di Warugunung  dan saudaranya yang lain beranak pinak di Gunung Bugel.

Setelah padamnya pembrontakan warga Lasem, rumah Raden Panji Margana disita Belanda dan pada Januari 1751 rumah tersebut ditinggali Mr. Happen ( kontrolir Belanda ).
Rumah Oey Ing Kiat dipakai oleh keponakannya yang diangkat Belanda sebagai Kapiten Tituler Lasem serta Jung dan perahu-perahunya disita oleh Belanda.

Bupati Suroadimenggolo III dikembalikan ke Semarang karena dianggap gagal menentramkan warga Lasem, sebagai gantinya Tumenggung Citrasoma diangkat menjadi Bupati Lasem serta tinggal di Binangun – Bonang yang masyarakatnya pro ke Belanda . Akibat perang pembrontakan ini ribuan warga pribumi dan Tionghoa Lasem terbunuh.

Setelah kota Lasem tenang, maka pada tahun 1780 di desa Babagan masyarakat Tionghoa mendirikan monumen untuk mengenang jasa ketiga pemimpin tersebut berupa sebuah Klenteng untuk memuliakan pahlawannya. Oleh masyarakat Tionghoa di Rembang dan Juwana pahlawan-pahlawan ini  dimuliakan pula dengan memasang patung pahlawan tersebut di Klenteng mereka.

Adalah tugas dari para arkeolog dan masyarakat Lasem sekarang mencari dan menemukan batu prasasti yang dulu diletakkan di tambak Batok Mimi karena batu prasasti ini adalah salah satu bukti otentik dari kisah perlawanan heroik masyarakat Lasem, Rembang, Juwana dan sekitarnya dalam bahu-membahu tanpa memandang agama dan etnik bersatu melawan VOC.


Cerita ini disadur dan diterjemahkan dari Kitab Badrasanti dengan harapan saduran ini dapat menggugah hati masyarakat ketiga kota tersebut untuk bersatu padu memerangi kemiskinan dan kebodohan yang masih melilit sebagian besar masyarakat disana.


-------------------- oooooOooooo --------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar