Rabu, 27 Juli 2011

KLENTENG- KLENTENG DI LASEM

KLENTENG- KLENTENG DI LASEM

Cu An Kiong – Lasem
Jl. Dasun No 19
Lasem
Telp. +62-295-531093



Di altar Utama adalah?Makco Thian Siang Sing Bo / Tian Shang Sheng Mu () yang merupakan Dewata Pelindung Laut.

Kelenteng ini didirikan diperkirakan pada abad 15 dengan mengalami pemugaran beberapa kali dengan mendatangkan tukang ukir dari Guang Dong (KwiTang) Tiongkok, yang terakhir pada tahun 1868.
Di kelenteng ini juga terdapat Kio ( Tandu) yang ukirannya amat halus dan indah untuk membawa MakCo Thian Siang Sing Bo pada waktu Jut Bio / kirab keliling di kota Lasem dan bila ada undangan Jut Bio di kota lain.




Gie Yong Bio – Lasem
Jl. Babagan No 7
Lasem
Telp. +62-295-532293


Kelenteng ini dipugar pada tahun 1915, Kelenteng Gie Yong Bio sebelum berdiri di Jl Babagan terdapat di Jalan Raya Lasem.

Di altar utama adalah Kongco Tan Kee Wie dan Oei Ing Kiat. Kedua Kongco ini bersama saudara angkatnya yaitu Bapak Raden Margono, bersama-sama berjuang untuk melawan penjajah Belanda (V.O.C.) pada tahun 1742, yang terkenal dengan nama Perang Godo Balik.
Untuk mengenang jasa-jasa dari kepahlawanan, menghormati leluhur serta meneladani sifat-sifat agungnya Kongco Gie Yong Kong dan Bpk Raden Margono, dibuatlah patung dan didirikan kelenteng Gie Yong Bio di Babagan Lasem.
Perlu diketahui Kongco Gie Yong Kong hanya terdapat di kota Lasem, Rembang dan Juwana.






Poo An Bio – Lasem
Jl. Karangturi VII/15
Lasem
Telp. +62-295-531893

 Kelenteng ini berdiri diperkirakan pada tahun 1740, di dalam Kelenteng terdapat gambar-gambar yang dilukis dengan dengan mo pit memakai tinta bak warna hitam. Lukisan tersebut menceritakan kisah Tiga Negara yang terkenal dengan nama Sam Kok, yang tokohnya bernama Liu Bei, Kwan Kong dan Zhang Fe.
Di altar utama adalah kongco Kong Tik Cun Ong atau Kwee Sing Ong.


Alamat kelenteng oleh: Frans R Suharto – April 2003
Artikel oleh: Rudy Hartono – April 2003

Rabu, 20 Juli 2011

SEJARAH KENTENG POO AN BIO LASEM


KLENTENG POO AN BIO LASEM
DAN KONGCO KONG TIK CUN ONG
   

Pada tahun 1740 pemukiman orang Tionghoa yang semula berada di sekitar jalan arteri   barat-timur dan sepanjang sungai Dasun terus ke utara serta Soditan, diperluas kearah selatan sampai kali Kemendung. Kira-kira tahun itulah diperkirakan Kelenteng POO AN BIO didirikan, sebab keberadaan Kelenteng tidak bisa dipisahkan dengan komunitas Tionghoa. Kelenteng ini terletak di tepi kali Kemendung dan terletak di desa Karangturi.
Sebagian besar orang Tionghoa Lasem adalah berasal dari Kabupaten Nan’an ( Lam-Oa ), karesidenan Quanzhou, propinsi Fujian ( Hokkian ). Dulu ketika para moyangnya merantau ke luar negeri, mereka selalu membawa arca Guang Ze Zun Wang ( Kong Tik Cun Ong ) didalam bagasi. Mereka percaya bahwa Dewata ini adalah pelindung orang yang merantau. Setiba di tempat yang dituju mereka lalu memujanya di rumah yang baru. Sebab itu banyak sekali rumah di Taiwan yang ditempati oleh imigran asal Quanzhou ( Coanciu ) memuja Guang Ze Zun Wang .
Demikian pula didaerah tujuan daerah perantau lainnya seperti Malaya dan Jawa. Sebab itu pula setelah kehidupan mulai mapan mereka mendirikan Kelenteng. Kiranya berdirinya Kelenteng POO AN BIO juga punya pola yang sama. Karena dianggap sebagai Dewa Pelindung  maka Guang Ze Zun Wang  disebut pula Bau An Zun Wang ( Raja Terhormat Pelindung Ketentraman ) dan Kelentengnya disebut BAO AN MIAO atau POO AN BIO.
Siapakah sebenarnya Guang Zen Zun Wang ? Dewata ini bermula dari seorang bernama Guo Zhongfu ( Kwee Tiong Hok ), tapi sumber lain menyebutnya Guo Hongfu ( Kwee Ang Hok ) atau Guo Qian ( Kwee Kian ), asli penduduk kabupaten Nan’an, propinsi Fujian ( Hokkian )..  Keluarga Guo ( Kwee ) berasal dari zaman dinasti Zhou. Pada waktu itu Zhou Wen Wang menghadiahkan wilayah Guo pada seorang saudara mudanya. Sebab itu sang pangeran disebut Guo Shu. Dari dia kemudian turun temurun menurunkan keluarga bermarga Guo.
Sampai pada Dinasti Tang keluarga Guo telah berlangsung 60 generasi. Pada zaman itu seorang jenderal kenamaan dari keluarga Guo bernama Guo Ziyi ( Kwee Cu Gi ) berjasa besar bagi kerajaan dalam menumpas pembrontakan An Lushan, lalu diangkat menjadi Fen Yang Wang ( Hun Yan Ong ) atau Raja muda dari Fen Yang.  Beberapa generasi kemudian sorang keturunan  Fen Yang bernama Song, pindah ke selatan dan beberapa keturunan lagi, antara lain Guo Hua pindah ke Fujian dan tinggal di distrik Qing Xi dekat Quanzhou. Ayah Guo Zhongfu seorang yang sangat saleh dan berbakti  pada orang tua, dan sangat perhatian pada orang miskin. Ia suka pergi bertamasya ke pegunungan yang indah pemandangannya. Zhongfu dilahirkan pada zaman kerajaan Tang Belakang tanggal 22 bulan 8 Imliek. Pada saat hamil ibunya memperoleh petunjuk gaib. Guo Zhongfu berbadan tegap, ia sangat berbakti pada orang tuanya. Ayahnya meninggal ketika ia berusia satu atau dua tahun. Karena keadaan rumah tangganya yang sangat miskin, telah memaksa ibunya pindah ke Shi-er dao, di Kabupaten Nan’an .  Mereka tinggal di kaki sebuah bukit, yang kemudian disebut Guo Shan ( gunung Guo, nama keluarga Guo Zhongfu ).

Untuk menyambung hidup ibu Guo lalu bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah keluarga Yang ( Yo  ) . Zhongfu juga ikut bersama, oleh hartawan yang ia disuruh  menggembala kambing . Suatu hari hartawan Yang memanggil seorang ahli fengsui tidak pernah diberi makanan yang memadai, hanya sekedar cukup untuk tangsel perut. Suatu hari pelayan rumah itu menghidangkan daging kambing kepada sang ahli fengsui. Ini hal yang sangat mengherankan karena biasanya ia kikir sekali. Ternyata daging itu berasal dari kambing yang mati karena jatuh ke dalam kakus. Melihat kenyataan ini ahli fengsui merasa sakit hati. Ibu Guo yang bertugas mencuci pakaian dan menyiapkan makanan  untuk ahli fengsui itu, sangat hormat dan baik sekali memperlakukannya. Si ahli fengsui yang jengkel karena perlakuan hartawan Yang yang kikir, lalu berubah simpati pada ibu Guo. Ia lalu memberitahukan fengsui tanah kuburan yang baik untuk mengubur tulang – belulang ayah  Guo . Ia bertanya pada ibu Guo : ” kamu mengharap anak cucumu  menjadi kaisar dalam satu dinasti, atau ingin menjadi dewa, kaisar hanya dihormati pada satu masa saja, tapi dewa dipuja orang sepanjang zaman. ” Ibu Guo memilih anaknya menjadi dewa. Si ahli fengsui lalu menunjukkan satu cara untuk mengetahui fengsui untuk kubur ayahnya. Tulang belulang ayahnya di cuci bersih dan disimpan dalam periuk tanah liat, ia berpesan agar kalau nanti bertemu dengan paderi bertopi tembaga dan seorang anak yang menunggang kuda terbalik , tempat dimana ia melihat itu adalah fengsui yang terbaik. Tulang belulang ayahnya boleh dipindahkan dan ditanam di sana selamanya, dan mereka harus tinggal di sana pula. Setelah itu si ahli fengsui pergi. Begitulah  ibu Guo bersama Zhongfu tinggal di suatu tempat sambil menggembala kambing dengan penuh kesabaran.
Suatu hari disaat hujan besar ibu dan anak itu melihat seorang paderi Budha menutup kepalanya  dengan gembreng tembaga, dan seorang anak gembala yang berteduh dibawah perut kerbaunya. Mereka sadar inilah kejadian yang dialamatkan oleh si ahli Fngsui berkenaan dengan letak fengsui terbaik untuk menanam tulang ayahnya. Ia sadar di tempat itulah tulang ayahnya harus ditanam. Tanpa mempedulikan hujan yang masih mengucur ia lalu mengambil periuk yang berisi jasad ayahnya lalu ditanam di tempat tadi. Guo Zhongfu sendiri sejak itu sering ke atas gunung Feifengshan untuk bersemedi.
Kemudian pada tahun Tian-Fu Kerajaan Jin Belakang ( A.D 936 ) ketika itu Guo Zhongfu berusia 10 tahun ( sumber lain menyebutkan 13 tahun ) ia pergi keatas gunung Feifengshan dengan berbekal arak sambil menggiring kambingnya. Lalu ia bersemedi di atas batang pohon rotan tua, lalu meninggalkan raganya ( moksha )
Sejak itu ia sering menampakkan memberikan pertolongan pada penduduk sekitar tempat itu yang sedang mengalami kemalangan. Dengan penuh rasa terima kasih  mereka mendirikan Kelenteng Feifengshan untuk menghormati dan mengenang jasanya. Kelenteng inilah cikal  bakal  Kelenteng  utama  yang  didirikan  disini  yang  kemudian  dinamai   Feng   Shan   Si ( Hong San Si )
Karena Shenming di Kelenteng ini sering menampakkan diri dan memberi pertolongan untuk rakyat dan negara, sebagai rasa terima kasih maka masyarakat memberikan sebutan   Bao An Zun Wang  ( Kwee Seng Ong )
Banyak sekali penampakkan Bao An Zun Wang  yang dicatat dalam sejarah sejak jaman Dinasti Song. Tercatat pada tahun Jian-Yan ke-4 ( 1130 M ). Kawanan bandit yang dikepalai oleh seorang She Tang, merampok desa desa sehingga penduduk sekitarnya mengungsi kedaerah lain. Diantara mereka lalu bersembahyang di kuil Sheng W ( Seng Ong ) Keesokan harinya turun hujan besar dan banjir bandang menerjang kawanan bandit yang berkeras mengejar. Gerombolan itu banyak yang tewas, sisanya melarikan diri, sehingga penduduk desa itu selamat.
Tahun Shaoxing ( 1131 M ) dari Dinasti Song, seorang bernama Wu De pergi ke ibukota untuk ikut ujian kerajaan. Ia membawa serta abu dupa Seng Wang Gong ( Seng-Ong Kong ).
Ketika di istana terjadi kebakaran, Seng Wang Gong muncul dengan membawa bendera putih dan api segera padam. Para pejabat kerajaan melihat lalu minta pada kaisar untuk mmberi gelar Hou ( Markis ) padanya.
Pada tahun Jia-Jing ( 1522 M ) Dinasti Ming, bajak laut Jepang banyak mengacau di wilayah pantai timur  Tiongkok. Suatu ketika mereka berhasil masuk  dan menyerbu sampai gunung Shishan, yang hanya terpisah 2 Li dari Guoshan. Mereka itu dibantu oleh berandal setempat yang dipimpin oleh Lu Shangsi. Orang-orang desa melarikan diri dan mendirikan perlindungan di sebelah utara Kelenteng Fengshan Si. Malam itu datang bala bantuan dari tentara pemerintah sebanyak 300 orang yang segera menyerang musuh. Bandit Jepang itu lalu balas menyerang dan mengepung Kelenteng dan membakarnya. Sebagian Kelenteng terbakar tapi tiba-tiba turun hujan lebat.  Api padam, tapi simpanan obat mesiu di tangsi perampok meledak dan menewaskan banyak sekali orang Jepang. Mereka lalu melarikan diri, karena takut kejadian ini adalah akibat campur tangan Seng Wang Gong.

Demikianlah antara lain kemujizatan Seng Wang Gong yang tercatat dalam sejarah.

Tentunya masih banyak lagi yang kalau semuanya ditulis akan memerlukan buku yang tebal sekali. Tidak seperti  Shenming  ( Shinbing ) yang semasa hidupnya telah banyak berbuat untuk masyarakat, Guang Zen Zun Wang justru menampakkan diri dan  memberikan pertolongan pada waktu ia telah moksha. Semasa hidupnya ia hanya seorang anak berbakti yang pekerjaannya menggembala kerbau, dan berusia 10 tahun ketika meninggalkan raganya.  



Kelenteng POO AN BIO sebagai tempat altar utama Bao An Zun Wang atau Guang Ze Zun Wang, yang secara umum dipanggil Seng Wang Gong ( Seng Ong Kong ) atau Guo Seng Wang ( Kwee Sing Ong ) menyimpan banyak sekali cerita-cerita rakyat yang mengandung ajaran moral yang tinggi. Hal ini patut disimak mengingat banyaknya generasi muda yang sama sekali tidak mengetahui adanya kisah-kisah ini. Cerita-cerita ini dilukiskan pada ke empat tembok  ruang dalam Kelenteng, berturut-turut menjadi serangkaian cerita bergambar yang asyik bila diceitakan kembali. Di kedua samping ruang dalam, di kiri kanan altar utama terdapat ringkasan cerita San Guo ( Sam Kok ) atau Kisah Tiga Kerajaan, sebagian diketahui San Guo adalah salah satu karya sastra klasik Tiongkok yang tersohor, sangat digemari oleh semua lapisan masyarakat, dan mengandung pelajaran kesetiaan yang maha agung.

Lukisan cerita ini terdiri dari 100 buah gambar yang terbagi dalam 2 bidang tembok, masing-masing 50. Ceritanya dimulai dari tiga serangkai Liu Bei, Guan Yu, dan Zhang Fei ( Lauw Pi, Kuan Ie, dan Thio Hwi ) mengangkat saudara di kebun bunga persik dan berakhir dengan tiga negeri dipersatukan jin. Tembok dalam bagian depan sebelah kiri, memaparkan kisah Shui Hu ( Tepi Air ) .

Perlu pula diketahui Shui Hu atau dikenal juga dengan judul ” 108 PENDEKAR DARI BUKIT LIANGSHAN ”  adalah kisah klasik Tiongkok yang sama terkenalnya dengan San Guo .

Kisah ini terjadi pada jaman Dinasti Song ( abad 11 ), tentang pembrontakan dari orang-orang yang terfitnah terhadap kerajaan.

Salah satu episode ” WU SONG MEMBUNUH HARIMAU   ( Bu Siong Pak Hauw ) bisa dilihat didalamnya. Sangat disayangkan sebagian gambar telah hilang, dan cerita ini sendiri tidak digambar sampai selesai.

Sebelah kanan ruang dalam depan memuat cerita  Yue Fei ( jendral Gak Hui ), jendral kenamaan jaman Dinasti Song, yang terkenal kesetiaannya pada negara. Cerita ini hanya dilukiskan sebagian, sisanya diisi berbagai kisah pendek tapi menarik  antara lain yang dapat kami simak adalah kisah Tu Si-niang, seorang pelacur dari Beijing yang demi cintanya pada seorang pelajar, sampai akhirnya mengorbankan diri. Lagi-lagi satu teladan kesetiaan dan ketulusan hati.

Masih ada di bagian tengah yang terdiri dari 24 gambar, yang melukiskan 24 anak berbakti .

Gambar ini masih lengkap dan jelas , lengkap dengan nama-nama penyumbang .

Ini hanya sebagian saja kekayaan budaya yang mewarnai Kelenteng Poo An Bio yang perlu kita pelihara dan resapi maknanya agar bisa diteruskan pada generasi mendatang.

Lasem, medio September 2001

SEJARAH KENTENG GIE YONG KONG LASEM


TERJEMAHAN RINGKAS INI DARI BUKU BABAD TANAH JAWA JILID 23 PADA HALAMAN 11 s/d PERCETAKAN BALAI PUSTAKA TAHUN 1940 SERI No. 1289 V
KARANGAN : TEMENGGUNG MARTOPURA

Cerita perkiraan ini mengenai laskar Cina dari Pantai timur dibawah   pimpinan Cik  Macan ( Tan Pan Tjiang ) dan pemuda Tik ( Oei Ing Kiat ) untuk melawan Kompeni Belanda di Semarang. Dan ceritera orang tua Lasem dengan petilasannya adalah Kelenteng Babagan Lasem yang di dunia tidak ada duanya.


SEJARAH KLENTENG GIE YONG KONG BABAGAN



Menurut ceritera orang tua-tua di Lasem dan yang pernah  membaca  buku  tentang  kepahlawanan    2 orang Cina di Lasem dengan petilasan Kelenteng Babagan Lasem iniyang diberi nama GIE YONG KONGCO yang berarti Kakek Nan Gagah Perkasa. Adalah sebagai berikut :

Pada waktu Kompeni telah berada di Semarang, di Lasem terdapat Cina-cina tokoh perang yang bernama Tan Pan Tjiang dan Oei Ing Kiat ( dalam buku Babad Tanah Jawa disebut Encik Macan dan Muda Tik ). Kedua orang ini adalah sebagai orang pembuat genteng di desa Klotok. Melihat tingkah laku Kompeni Belanda yang sewenang-wenang memulangkan orang-orang Cina ke Tiongkok kembali dan membuang mereka kelaut, maka keduanya mengangkat senjata melawan Kompeni. Yaitu diperkirakan pada tahun 1742 (Perang Kuning) tetapi pada awal ia mengangkat senjata itu, dalam perjalanan ke Semarang  tentunya   melawan   garong - garong   yang   tidak   bertanggung   jawab.  Yang selanjutnya oleh ceriteraan ini  disebut Perang Godou Balik. Yaitu 3 km dari Lasem ada desa Godou.

Dan pada lanjutannya ke Semarang setelah berperang didaerah Semarang maka mengalami kekalahan dan mundur sampai di Mondoliko ( Tanjung Welahan ) kedua pahlawan ini gugur. Selanjutnya  oleh Kakak Tan Pan Tjiang yang bernama Tan Kee Wie sebagai ahli ukir mendapat firasat dalam mimpi bahwa dikali Juana ada terapung 2 batang kayu .

Kedua batang kayu ini tidak terambil oleh siapapun juga walaupun diinginkan , maka diperintahkan dalam mimpi itu agar Tan Kee Wie mengambil dan membuatkan patung untuk Tan Pan Tjiang dan Oei Ing Kiat untuk sebagai peringatan anak cucunya pada Kelenteng kecil menghadap ketimur.

Dan pada tahun 1915 di pugarlah Kelenteng kecil itu menjadi Kelenteng yang sekarang ini menghadap ke Utara, terletak pada desa Babagan ( Pasar Babagan ) Lasem. Dapat kami tambahkan bahwa rumah dari Tan Kee Wie itu dahulu di Jalan Raya No.70  Lasem ” KAJAR MOTOR ” sekarang ini.

Demikian ceritera-ceritera yang kami kumpulkan dari orang tua – tua di Lasem.

Dalam buku Babad Tanah Jawa pada halaman 11 s/d 16 diuraikan sebagai berikut :

Tersebutlah  Temenggung  Martapura  memerintah  di  Gerobagan  (  Purwodadi  ).
Beliau memerintahkan memanggil Cik macan  ( Tan Pan Tjiang  ) dan Muda Tik ( Oei Ing Kiat ) sebagai pimpinan Laskar Cina yang berbaris di Puwun ( Jati Pohon Purwoto ) Grobogan.

Setelah mengharap Temenggung Martopura memberitahukan maksud pemerintah Kartosuro, bahwa Laskar Cina bila bermaksud akan perang, maka diharap jangan melawan Pemerintah Kartosuro. Karena Pemerintah Susuhunan Kartosuro ada milik Negara. Kalau sampai Laskar Cina berniat akan merebut kekuasaan dari Susuhunan Kartosuro, maka terpaksa pemerintah Susuhunan Kartosuro akan menumpas hingga sampai keakar-akarnya. Selanjutnya Temenggung Martopuro lalu mengutus Cik Macan dan Muda Tik  untuk menemui pimpinan di Tanjung Welahan yang bernama Sing  She secara rahasia, dengan maksud sanggupkah Sing She melawan Kompeni atau tidak ? kalau kiranya dengan bulat Sing She siap melawan Kompeni di Semarang, maka temenggung Martopuro akan tidak segan-segan mengumumkan kepada Kompeni. Setelah Cik Macan dan Muda Tik mendengarkan perintah Temenggung Martopuro, maka keduanya merasa puas atas perintah Temenggung Martopuro dan susuhunan Kartosuro itu. Karena restu untuk melawan Belanda dari Susuhunan Kartosuro ini sangat diharapkan . Agar dalam peperangan ini jangan sampai diserang kedua belah pihak. Jadi yang jelas musuh utama adalah Kompeni Belanda yang telah direstui Susuhunan Kartosuro.

Cik Macan dan Muda Tik menyanggupi dengan senang hati dan berpesan dengan Temenggung Martopuro,  kalau dalam peperangan itu ternyata laskar Cina kalah, maka dengan rela supaya harta benda dan keluarga Cina itu diwariskan hanya kepada orang jawa. Temenggung Martopuro juga berjanji bahwa sepulangnya mereka dari Tanjung Welahan Temenggung Martopuro akan membuat rencana baru terharap Kompeni Belanda. Maka berangkatlah Cik Macan dan Muda Tik ke Tanjung Welahan menemui tokoh yang bernama Sing She sebagai komandannya. Setelah sampai disana, disampaikanlah segala perintah dan pesan dari Temenggung Martopuro yang masih bersifat rahasia itu. Sing She setelah mendengar bahwa Susuhunan Kartosuro amat menyetujui bahkan merestuinya agar dengan gagah perkasa menyerang Kompeni Belanda. Maka dengan suka hati Sing She menerima Cik Macan dan Muda Tik . Dan segera memerintahkan Cik Macan dan Muda Tik untuk memberitahukan kepada Temenggung Martopuro bahwa laskar Cina dibawah pimpinannya telah bertekad bulat untuk mati melawan Kompeni Belanda. Dan kembalilah mereka ke Grobogan  untuk laporan pada Temenggung Martopuro dengan menyerahkan barang-barang upeti dari Sing She sebagai tanda terima kasih dan siap menerima perintah yang telah di sampaikan oleh Cik Macan dan Muda Tik padanya.  Upeti mana berupa kain beludru yang terbaik ( Molio Kustup ) , Surosari real 700 susun kain sutra 2 pikul berwarna hijau dan merah . Upeti mana telah diterimakan oleh Cik Macan dan Muda Tik kepada Temenggung Martopuro dengan gembira sekali. Hal ini adalah dikarenakan maksud dan tujuan Temenggung Martopuro telah tercapai. Yaitu seluruh laskar Cina yang berada di Puwun dan Tanjung Welahan ( bagian timur ) telah sepakat menyerang Kompeni Belanda.

Selanjutnya setelah laporan selesai, Cik Macan dan Muda Tik kembali ke Puwun  untuk mengatur barisan dan membuat bendera serta tanda – tanda peralatan perang ( Beri dan Bentang ). Dengan kekuatan 200 orang Cina.

Selanjutnya dengan siasat menipu Kompeni Belanda di Semarang , maka Temenggung Martopuro mengirim utusan ke Semarang dibawah pimpinan Demang Wargomenggolo beserta 6 orang pengawal untuk menemui kompeni disana. Dengan pesan bila sampai Pring apus ( Timur Semarang ) ada barisan berkuda yang berjumlah 70 orang dengan berbendera. Maka utusan harus mengatakan akan ke Kartosuro.  Sebenarnya Kompeni sendiri telah lama merasakan ( memperhitungkan ) bahwa laskar Cina dari sepanjang pantai Timur ( Lasem, Rembang, Juana, Welahan ) telah bersiap siaga barisannya di Tanjung Welahan yang dipimpin oleh Sing She dengan persenjataan yang cukup lengkap. Maka atas berita ini terpaksa Comondor Semarang merasa susah. Sebab belum mendapat kepastian kapan laskar Cina ini bergerak menuju Semarang. Ditambah pula belum adanya perintah dari Susuhunan Kartosuro untuk menghadapi laskar Cina ini. Maka Alpiser, Natanael dan Tawitan merasa kalud ( kisruh ) sementara itu datanglah utusan Temenggung Martopuro untuk menyampaikan surat. Segera juru bahasa diperintahkan untuk menyalin surat dari Temenggung Martopuro, adapun isi surat adalah sebagai berikut :

Diberitahukan bahwa setelah Grebeg Mulud, di desa Puwun Prawoto muncullah barisan laskar Cina dengan kekuatan 300 orang dibawah pimpinan Cik Macan dan Muda Tik sedang merusak dan menggempur desa Prawoto.  Dan dari Susuhunan Kartosuro diperintahkan saya buat melawan laskar Cina dari Puwun, itu. Sedang tentara saya tidak cukup kuat, bala bantuan tidak diberi untuk menghadapi laskar Cina itu. Dan kalau saya sampai tidak taat perintah atau hingga mengalami kekalahan saya akan dikebiri, karena sebagai prajurit dan Pengabdi Negara merasa malu bila saya tidak berani melawan laskar Cina yang berjumlah 300 itu dengan persenjataan yang cukup itu.

Kendatipun saya harus mati dimedan tidak akan menyesal. Untuk ini saya berusaha bila dapat tuan Kompeni membantu peralatan perang bagi saya. Dan ditambah pula, tentara kami yang separo berjumlah 100 orang berkuda dengan lewat Semarang pulang ke Kartasura,  maka kami mengharap Tuan Kompeni memberi bala bantuan kepada kami untuk menghadapi laskar Cina  tersebut  Comondor Kompeni Alpiser merasa gembira dan lega. Dan jelaslah sekarang bahwa benar-benar ada laskar Cina yang akan menyerbu Semarang Yang dewasa ini sedang dihadapi Temenggung Martopuro.

Dengan demikian maka Kompeni ada alasan buat bertempur. Maka segera utusan Temenggung Martopuro yang dipimpin oleh Demang Wargomenggolo diperintahklan pulang dengan membawa perlengkapan perang dari Comondor Kompeni Alpiser yang berupa 20 senapan berbajonet, 4 Karabein halus, 4 pistol halus, musiu 4 tong, peluru 1 tong sangkelad ( selempang ) 4 pikul dengan warna biru, hijau dan merah terbuat dari beludru dan juga berwarna hitam, juga renda dan lain sebagainya masih banyak pula.

Juga Alpiser memerintahkan 30 orang Kompeni Belanda dibawah pimpinan Corned beserta Demang Kali Gawe dan Demang Kalisari ikut serta membantu untuk menuju ke Gerobogan.

Maka utusan Temenggung Martasura sampai kembali dari Semarang dengan membawa bantuan dari Kompeni yang diterima Temenggung Martapura dengan senang.

( Pada buku aslinya halaman terputus dari halaman 17 s/d 32 ) atau 3 bab.

Terjemahan dan pengumpulan ceritera ini dibuat oleh :
1. S. Hartono Ki Dwidjowijoto Departemen P dan K Kabupaten Pati.
2. Djoko Susanto Prajogo Ketua II Tiga Klenteng Lasem